02 Februari 2013

Sejarah Singkat Penyaliban

Sejarah Singkat Penyaliban

Disadur dari buku:

Yesus Yang Disalib Bagiku

Mengungkap Fakta Medis di Balik Penyaliban dan Kematian Yesus.

Mark A Marinella, MD., F.A.C.P.

Interlude

Meskipun penyiksaan fisik dan pembunuhan Kristus sungguh-sungguh mengerikan yang oleh nabi Yesaya dinubuatkan "... begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia ..." dalam Yesaya 52:13-15, perasaan ditinggalkan oleh Bapa dan semua sahabat-Nya seperti yang Yesus jalani untuk menebus dosa manusia. Firman yang menjadi Manusia itu telah melakukan semuanya itu dengan baik untuk menggenapi Kehendak Bapa didalam Hidup-Nya bagi setiap orang percaya dan dengan taat, menderita sampai mati (Filipi 2:8) dan memikul dosa seluruh dunia pada Tubuh-NYA sendiri (Ibrani 9:28)

Menurut Dr D. James Kennedy dan Dr Jerry Newcombe:

"Dalam Injil, sepertiga Injil Matius, Markus dan Lukas membahas penderitaan dan kematian Kristus; separuh Injil Yohanes membahas minggu terakhir kehidupan Yesus. Pengakuan Iman Rasuli yang meneguhkan fakta kehidupan Kristus, mengambil lompatan yang sangat besar dr kelahiran Kristus ke penderitaan dan kematian-NYA. Pengakuan itu melompati seluruh pelayanan-NYA. Pengakuan Iman tidak mengatakan apa-apa tentang ajaran Yesus yang agung, teladan-NYA yang sempurna atau mujizad luar biasa yang Dia lakukan. Fokus semua karya-NYA adalah menyampaikan betapa pentingnya penderitaan dan pengorbanan Kristus."

Faninus, seorang awam terpelajar, yang menjadi martir pada 1550 di Italia karena imannya mengatakan demikian pada hari eksekusinya:

"Kristus menanggung segala macam kepedihan dan konflik, serta neraka dan maut, demi kita. Dengan melalui penderitaan-NYA, Dia membebaskan orang-orang yang sungguh-sungguh percaya kepada-NYA dari ketakutan mereka"

Karena kekudusan ALLAH, dosa umat manusia, keadilan ALLAH dan kasih-NYA, Yesus dengan sukarela memikul salib untuk menyelamatkan manusia (menanggung hukuman yang seharusnya ditanggung manusia) yang percaya kepada-NYA:

"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Ku kehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39)

Cawan itu berisi seluruh dosa dunia. Kristus mengambil cawan pahit perpisahan dari ALLAH dan murka-NYA atas dosa dalam ketaatan. Dia sempurna dan kudus, dengan sukarela mempersembahkan hidup-NYA sendiri, mengambil hukuman yang seharusnya Kita pikul, dalam kematian jasmani dan rohani (ditinggalkan oleh BAPA).

Semua ini untuk menebus dosa seluruh umat manusia, baik pada masa lalu, sekarang, maupun yang akan datang, bagi orang yang percaya dan akan percaya pada penebusan Kristus, dan yang ditulari kebenaran Kristus. Juruselamat Kita, dengan penuh kemenangan menaklukan maut ketika Dia bangkit dari kematian.

Ini adalah penderitaan (passion) Yesus Kristus.  Kata "passion" berasal dari bahasa Latin yang berarti "tunduk pada penderitaan." Yesus diolok dan diejek, diludahi, dipukul, serta dicambuki. Punggung-NYA terkoyak-koyak. Dahi-NYA rusak dan berdarah karena mahkota duri yang dibenamkan ke daging-NYA. Dia disalibkan dan dikutuk dgn kematian yang paling brutal dan penuh kesakitan, secara fisik maupun rohani. Semuanya itu ditanggung-NYA demi kita

Aku mengasihi Engkau, karena Engkau terlebih dahulu mengasihi aku, dan membeli pengampunanku di salib Golgota.

Aku mengasihi Engkau karena Engkau mengenakan duri-duri di dahi MU; Jika aku pernah mengasihi-MU, Yesusku, itulah sekarang. 

(William R Featherstone)

Percaya kepada Kristus berarti menerima Dia sebagai Tuhan dan Tuan atas hidup Kita. Napoleon pada hari-hari terakhirnya di St. Helena berkata:

"Delapan ratus tahun lalu, Kristus membuat tuntutan yang jauh melampaui segala hal lainnya dan sulit untuk dipenuhi. Dia meminta sesuatu yang mungkin seringkali dicari filosof di tangan teman-temannya, atau seorang ayah dari anak-anaknya, atau pengantin dari pasangannya.
Dia meminta hati manusia, untuk diri-NYA sendiri, secara ekslusif menjadi milik-NYA. Menembus tantangan waktu dan ruang, jiwa manusia dengan segala kekuatannya digabungkan dengan Pemerintahan Kristus."

** Penyaliban **

"Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah tiang,maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah; janganlah engkau menajiskan tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu." (Ulangan 21:22-23)

Selama masa Keluaran dan awal pendudukan Tanah Perjanjian, ALLAH memberi keputusan dan perintah untuk diikuti dengan tertib oleh bangsa Israel. Penjahat yang dihukum mati seringkali digantung dipohon untuk menghalangi orang lain melakukan pelanggaran yang sama. Namun mayat itu tidak boleh dibiarkan tergantung di pohon semalam-malaman. Sama halnya, mayat orang yang disalibkan pada malam menjelang Paskah atau Sabath, harus diturunkan sebelum matahari tenggelam.

Yesus dikutuk oleh manusia dan ALLAH untuk menyerap semua dosa masa lalu, sekarang dan yang akan datang, serta tergantung di Kayu Salib agar dilihat semua orang. Rasul Paulus menunjuk kutuk ini dalam Galatia 3:13.

Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!"

Penyaliban merupakan bentuk hukuman mati pada zaman kuno, dimana korbannya diikat atau dipaku pada tiang kayu atau salib.  Alkitab menyinggung tentang ini dalam Ulangan 21:22-23.

Namun, pada zaman Musa dalam sejarah Yahudi, korbannya biasanya dilempar batu terlebih dahulu, kemudian setelah mati digantung di pohon, sebagai tontonan umum tentang kutukan ALLAH dan manusia. Tindakan penyaliban dimana tertuduh diikat di pohon, atau salib sebagai sarana kematian kemudian diperkenalkan oleh budaya non Yahudi.

Hukuman mati pada zaman kuno bisa sangat brutal. Bahkan, 3 bentuk eksekusi yang paling barbar dikatakan adalah:

  1. Crux (Salib, siksaan, penyaliban)
  2. Crematio (Membakar hidup-hidup dengan api)
  3. Decollatio (Penggal kepala)

Dari ketiganya, penyaliban dipandang yang paling brutal.

Cicero, politisi dan orator Romawi menyatakan bahwa penyaliban merupakan "kematian yang paling kejam dan mengerikan."

Penyaliban tampaknya berasal dari budaya Asyur dan Babel. Yang menarik, kedua bangsa inilah yang membawa orang Yahudi ke pembuangan. Bangsa Asyur menaklukan Kerajaan Utara (Israel) pada 722 SM dan bangsa Babel menaklukan Kerajaan Selatan (Yehuda) pada 605 SM.

Namun, penyaliban kemungkinan juga dipakai sebagai sarana eksekusi secara rutin oleh bangsa Persia pada abad ke 6 SM. Bangsa Persia, 600 tahun sebelum Kristus disalibkan oleh bangsa Romawi, secara khusus mengikat korban pada pohon (infelix lignum) atau menyulakan pada tiang vertikal (crux simplex). Dalam kitab Ezra, raja Persia Koresy mengeluarkan keputusan:

Selanjutnya telah dikeluarkan perintah olehku, supaya setiap orang yang melanggar keputusan ini, akan dicabut sebatang tiang dari rumahnya, untuk menyulakannya pada ujung tiang itu dan supaya rumahnya dijadikan reruntuhan oleh karena hal itu. (Ezra 6:11)

Hukuman penyulaan pada tiang atau tonggak yang brutal ini merupakan contoh crux simplex. Sama halnya dalam Ester 2, ketika raja Persia Ahasyweros mendengar persengkokolan yang direncanakan oleh 2 penjaga istana untuk membunuhnya, dia memerintahkan kedua orang itu disulakan di tiang. Itu merupakan bentuk standar penyaliban di Persia Kuno. Ayah Ahasyweros, raja Darius, suatu kali menghukum mati 3.000 orang melalui penyulaan di atas tiang (crux simplex).

Contoh lain tentang penyulaan crux simplex dicatat dalam Ester 5, Haman dan istrinya berencana menyulakan Mordekhai pada tiang setinggi 22-meter yang akan terlihat dari segala penjuru. Sama halnya dalam Ratapan 5:12, nabi Yeremia menggambarkan orang-orang muda Yahudi di pembuangan "digantung oleh tangan mereka", yang mungkin merupakan bentuk penyaliban primitif yang melibatkan penyulaan atau penggantungan di tiang kayu. Baru belakangan dalam sejarah, salib yang digunakan untuk penyaliban memakai bentuk yang Kita pandang "tradisional".

Alexander The Great (356-323 SM), raja Makedonia, yang mempopulerkan zaman Helenistik, membuat bahasa Yunani sebagai bahasa universal di pemerintahan maupun kesusasteraan. Ia diduga belajar penyaliban dari budaya yang sudah disebutkan sebelumnya, dan akibatnya memperkenalkan penyaliban di wilayah Meditarenia pada abad 4 SM. Setelah itu, penyaliban dipelajari dan dilakukan di Mesir, Fenisia, Syria, dan Kartago. Selama perang Punik antara Kartago (kota kuno di Afrika Utara dekat Tunisia Modern, Tunisia) dan Roma, bangsa Roma belajar tehnik penyaliban dan dengan cepat memakainya sebagai bentuk hukuman mati. Bangsa Romawi menggunakan penyaliban selama beberapa ratus tahun sampai akhirnya dihapuskan oleh Kaisar Konstantin I karena cara tersebut dipandang kejam. Orang Yunani sendiri tidak melakukan penyaliban karena mereka memandang hal itu terlalu brutal dan tidak manusiawi.

** Bangsa Romawi Menyempurnakan Tehnik Penyaliban**

Pada zaman Kristus, Romawi merupakan budaya yang paling dominan dan secara rutin menggunakan penyaliban sebagai metode utama hukuman mati. Cara ini terutama diterapkan pada bangsa non Romawi, kecuali dalam situasi khusus seperti desersi militer. Bangsa Romawi menyalibkan orang Kristen, orang asing, pemberontak dan budak. Di abad ke 4 SM misalnya, bangsa Romawi menyalibkan sekitar 2.000 orang Yahudi.

Yosephus, ahli sejarah abad pertama, mencatat penyaliban massal yang terjadi selama perang Yahudi, termasuk penganiayaan dibawah Kaisar Tiberius pada abad ke 19 SM, penghancuran Yerusalem pada abad 70 M yang mengakhiri negara Israel, dan akhirnya pemberontakan Bar-Kochba yang gagal untuk memulihkan negara Israel pada 135 M.

Di Palestina, pada abad pertama, yang diduduki oleh Romawi, pemberontakan terhadap pendudukan Romawi merupakan hal yang biasa, khususnya oleh para pejuang agama. Bangsa Romawi membunuh banyak orang karena memprotes pemerintah.

Tidak semuanya adalah penjahat, seperti pencuri atau pembunuh. Sesungguhnya, tuduhan terhadap Kristus mencakup pemberontakan dan rencana untuk menggulingkan pemerintah Romawi dengan meneguhkan diri-NYA sebagai Raja. Para pemimpin agama juga menuduh Dia melakukan penghujatan. Ketika Yesus berdiri di depan Pilatus, para pemimpin menyatakan,"Jikalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak akan menyerahkan-Nya kepadamu." (Yoh 18.30). Namun bangsa Yahudi, dibawah Romawi, tidak memiliki otoritas untuk melakukan hukuman mati sehingga mereka harus memohon kepada pemerintah Romawi. Itulah sebabnya Yesus tampil dihadapan Pilatus setelah dituduh oleh Imam Besar dan Mahkamah Agama, atau dewan pemerintahan Yahudi.

Bangsa Romawi meneruskan hukuman penyaliban lama setelah Yesus mati. Yosephus mencatat bahwa selama bangsa Romawi mengambil alih Yerusalem pada 70 M, ratusan tahanan Yahudi disalibkan setelah mereka bangkit menentang Romawi yang menawan mereka.

Mereka pertama dicambuk kemudian disiksa dengan segala macam siksaan sebelum mereka mati, dan disalibkan di depan tembok kota para prajurit, karena marah dan benci terhadap orang Yahudi, menyalibkan orang-orang yang mereka tangkap di kayu salib dengan posisi berbeda-beda, sebagai bahan lelucon. (Josephus. Jewish Antiquites. Trans. L. H. Feldman. Loeb Classocal Library. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1957, [III:321; V:362-420]

Yosephus juga mencatat tindakan khusus tidak manusiawi yang dilakukan oleh Antiokhus IV, dimana anak korban yang tercekik digantungkan di sekeliling lehernya. Kekejaman ini terjadi selama penghancuran Yerusalem dan Bait Suci pada 70 M oleh Romawi dan telah dinubuatkan Yesus dalam Lukas 23:28-30, sementara memikul salib-NYA ke Golgota, sebagai respon terhadap perempuan-perempuan di sepanjang jalan yang meratap dan menangisi Dia:

Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: "Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu! Sebab lihat, akan tiba masanya orang berkata: Berbahagialah perempuan mandul dan yang rahimnya tidak pernah melahirkan, dan yang susunya tidak pernah menyusui. Maka orang akan mulai berkata kepada gunung-gunung: Runtuhlah menimpa kami! dan kepada bukit-bukit: Timbunilah kami!"

Nubuat ini tidak diragukan lagi diingat oleh orang-orang yang hadir pada saat penyaliban ketika hal itu digenapi sekitar 30 tahun kemudian, saat jenderal Romawi Vespasianus menyerahkan kepemimpinan atas pengepungan Yerusalem pada 69 M kepada anaknya, Titus.

Titus merampok dan membakar kota Yerusalem. Situasinya begitu memilukan. Ibu-ibu melihat anak-anak lelaki mereka dibunuh dan mayatt mereka ditumpuk di jalan-jalan.

Dikatakan bahwa ibu-ibu yang kelaparan membunuh dan memakan bayi mereka sendiri untuk bertahan hidup. Kristus menubuatkan bahwa invasi Romawi yang akan datang begitu mengerikan sehingga kaum perempuan berharap agar mereka tidak punya anak supaya tidak melihat kematian anak mereka yang mengerikan itu.  Orang yang bertahan hidup dijual sebagai budak, jika berusia dibawah 17 tahun dan yang lebih tua, disalibkan. Jumlahnya mencapai ribuan di seluruh tanah Yerusalem. Beberapa orang menyatakan bahwa Titus menyalibkan begitu banyak orang selama pembantaian besar-besaran di Yerusalem pada 70 M sehingga tidak ada cukup ruang untuk semua salib itu dan tidak cukup salib untuk seluruh tubuh mereka.

Penyaliban massal oleh tentara Romawi juga dicatat oleh Lucius Anneus Seneccca 4 SM-65 M)

"Saya melihat salib-salib disana, bukan hanya satu jenis, tetapi terbuat dalam banyak cara yang berbeda. Beberapa menyalibkan korban mereka dengan kepala di bawah menghadap ke tanah, beberapa menyulakan bagian tubuh pribadi mereka, yang lain merentangkan tangan mereka."
(Senecca, In De Consolation ad Marciam)

** Tehnik Penyaliban **

Seperti yang dicatat sebelumnya, penyaliban yang paling awal mungkin melibatkan penyulaan korban di atas tiang (crux simplex) atau mengikat di pohon (infelix lignum). Pada masa itu, bangsa Romawi secara teratur menyalibkan orang. Bentuk awal ini secara luas mulai ditinggalkan orang itu pada berbagai jenis salib. Bangsa Romawi jarang menggunakan salib berbentuk (crux decussate). Kebanyakan korban penyaliban diikat pada salib Latin yang terkenal (crux commisa) atau salib Tau (crux sublimes).

Tradisi mencatat Yesus disalibkan pada jenis salib crux commisa. Bagian vertikal salib, yang dikenal sebagai stipes, ditanamkan secara permanen di tanah, biasanya tepat di luar kota di wilayah yang ramai dilewati orang sehingga semua orang yang lewat bisa menyaksikan peristiwa yang mengerikan ini dan takut untuk melakukan kejahatan atau pemberontakan.

Bagian horizontal salib dikenal sebagai patibulum; beratnya antara 45-90 kg, dan secara khusus dibawa di atas pundak tertuduh ke tempat penyaliban. Setelah itu, patibulum diikat pada stipes dengan paku atau tali. Sometimes, penopang untuk pantat (sedile) diikatkan pada bagian tengah stipes. Namun, lebih sering hal ini tidak dilakukan karena alat ini memberi kelegaan kepada orang yang disalibkan, yang tidak ingin diberikan oleh tentara Romawi.

Setelah korban dipandang bersalah dan dihukum mati dengan cara disalibkan, satu tim tentara Romawi memimpin dia dalam prosesi yang penuh penghinaan ke tempat kematian.  Hal ini dilakukan supaya orang takut, bahkan untuk memikirkan melakukan kejahatan yang sama seperti tertuduh. Prajurit pada bagian depan prosesi membawa plakat, yang dikenal dengan nama titulus, yang memuat nama korban dan kejahatannya.

Para prajurit itu menempelkan titulus pada bagian atas tiang kayu yang panjang di tempat yang panjang di tempat yang cukup tinggi sehingga orang yang lewat bisa melihatnya dengan jelas.
Korban biasanya ditelanjangi saat disiksa sebelum penyaliban dan dipaksa memikul patibulum dalam keadaan telanjang. Ini merupakan taktik yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa malu lebih lanjut. Hukum Romawi mewajibkan korban penyaliban untuk dicambuki, atau disiksa dengan cara dicambuk sebelum dieksekusi.

Hanya perempuan yang dikecualikan. Pencambukan ini bertujuan untuk membuat korban lemah, bukan untuk membunuh. Namun beberapa orang sudah mati selama pencambukan. Selain itu, orang Romawi kadang menggunakan bentuk siksaan lain dan pemenggalan seperti memotong lidah atau mencungkil mata korban.

Setelah tertuduh dibawa ke lokasi, dipakukan di patibulum, dan dirikan di stipes, seorang perwira Romawi memimpin penyiksaan itu sampai mati, yang bisa memakan waktu 3-4 hari. Kadang orang mati itu ditinggalkan di kayu salib. Pembusukan dalam iklim hangat akan terjadi dengan cepat dan menghasilkan bau busuk yang menembus perbatasan. Namun hukum Romawi mengizinkan keluarga korban untuk menurunkan mayat itu dan melakukan penguburan yang sepantasnya jika mereka menghendakinya. Dalam kasus korban Yahudi, dan terutama malam menjelang Sabat, mayat harus diturunkan sebelum matahari tenggelam (Ulangan 21:22).

Kadang, jika kematian harus dipercepat, tulang kaki yang panjang akan dipatahkan, satu proses yang dikenal sebagai pematahan tulang. Karena orang yang disalibkan menggunakan kakinya untuk bernafas, pematahan tulang kaki (seperti femur atau tibia) membuat orang itu tidak mungkin bernafas dan mengeluarkan nafas dengan semestinya. Akibatnya, terjadi sesak nafas dan kematian yang cepat.

** Penyaliban Dihapuskan **

Penyaliban dipraktikkan selama beberapa abad sebelum Kristus dilahirkan dan tumbuh subur di seluruh kekaisaran Romawi sampai dihapuskan sebagai bentuk hukuman mati oleh kaisar Romawi yang beragama Kristen yang pertama, Konstantin I, pada 337 M.

Meskipun demikian, tidak terhitung banyaknya orang yang dihukum mati dengan cara demikian, yang tidak hanya menderita secara jasmani, melainkan juga menanggung olokan dan rasa malu secara sosial.

Sesungguhnya, karena sifat cabul dan rasa malu yang berkaitan dengan penyaliban, hal itu merupakan topik yang tidak akan dibahas dalam pertemuan sosial.

Cicero mencatat, 'kata Salib harus dijauhkan, bukan hanya dari diri warga negara Romawi, melainkan dari fikiran, mata dan telinga mereka.'

Kita, sebagai orang Kristen, sebaiknya mengingat kutuk penyaliban yang dijalani Kristus dengan sukarela untuk menebus semua orang yang menaruh iman mereka kepada-NYA.
Rasul Paulus meringkas semua bagian ini dengan baik dalam Galatia 3:13

Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!"

Referensi:

  1. Retief, F.P. Dan L. Gilliers. "The History and Pathology of Crucifixion"
  2. Friedrich F. "Theological Dictionary of The New Testament".
  3. Barbet, P. "Doctor at Calvary: The Passion of Our Lord Jesus Christ as Described by a Surgeon"
  4. Walvoord, J.E dan R.B Zuck. "The Bible Knowledge Commentary: Old Testament."
  5. Lincoln Library of Essential Information.
  6. Edwards W.D, W.J. Gabel dan F.E. Hosmer. "On The Physical Death of Jesus Christ."

Renungan Singkat Tentang Firman ALLAH (Davar Elohim) Yang Menjadi Manusia (Yesus Kristus)

In the name of Father, Son, and Holy Spirit.

‘En arkhe en ho Logos, kai hi Logos en pros ton Theon, khai Theos en ho Logos’

‘Kai ho Logos sarks egeneto’

‘Pada mulanya adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah.’

‘Dan Firman itu menjadi manusia.’

Yohanes 1:1,14

Mengapa Yesus disebut Firman Allah oleh rasul Yohanes?

Apakah ini ada kaitannya dengan Neo-Platonisme?

Kebanyakan orang yang tidak mengerti dan pura-pura tahu alias sok tahu akan mengatakan bahwa Rasul Yohanes telah dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme. Tuduhan ini lemah sama sekali dan tidak berdasar.

Penggunaan istilah yang sama belum tentu membuktikan kesamaan konsep diantara keduanya.

Meskipun rasul Yohanes menggunakan istilah ‘Logos’ dalam Injilnya, tetapi maknanya berbeda dengan ‘Logos’ dalam filsafat Yunani.

Ada perbedaan yang sangat jauh antara konsep ‘Logos’ dalam filsafat Yunani dan ‘Logos’ dalam latar belakang kitab Perjanjian Lama yang menjadi dasar pemahaman rasul Yohanes dalam menggunakan istilah ini.

Tidak digubrisnya konsep yang melatar-belakangi istilah ini dalam Perjanjian Lama, dapat menimbulkan kesalahpahaman yang terus-menerus terhadap iman Kristen.

Kesamaan istilah belum membuktikan makna yang sama antara masing-masing kelompok yang menggunakan istilah itu.

Contohnya, penggunaan istilah ‘surga’ dalam terminologi agama Islam dan Kristen. Namun, arti kata ‘surga’ dalam Kristen dan Islam berbeda dengan apa yang dimaknai oleh agama Hindu. ‘Surga’ adalah bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Sansekerta,’Svarga’.

Kata ‘Svarga’ dalam bahasa Sansekerta berasal dari dua kata, yakni ‘Svar’ yang artinya ‘cahaya’ dan ‘Ga’ yang artinya ‘Pergi’.

Dalam agama Hindu, ‘surga’ adalah perjalanan menuju cahaya, dan dimaknai sebagai sebuah tempat persinggahan sementara sebelum mencapai tujuan tertinggi yakni ‘Moksha’.

Pertanyaannya:

Apakah dengan menggunakan kata ‘surga’ dalam terjemahan Alkitab dan Alquran berbahasa Indonesia, lantas dapat dituduhkan bahwa konsep ‘surga’ dalam Kristen,Islam dan Hindu itu sama?

Tentu Kita tidak bisa menyimpulkan sesederhana itu. Meskipun umat beragama (Kristen, Islam dan Hindu) di Indonesia sama-sama mengenal istilah Surga/’Swarga’, tapi masing-masing kelompok memiliki konsep yang berbeda satu sama lain.

Demikian juga penggunaan istilah ‘Logos’ dalam kitab Injilnya, telah ada Septuaginta, terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani yang berasal dari abad ke 2 SM yang menggunakan kata tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari Ayat dibawah ini yang dikutip langsung dari Septuaginta.

To logo tou kuriou hoi ouranoi estereothesan....

Oleh Firman Tuhan langit telah dijadikan...

Mazmur 33:6

Septuaginta menggunakan kata ‘Logos’ sebagai terjemahan dari kata Ibrani ‘Davar’.

Septuaginta, memang ditulis untuk orang-orang Yahudi perantauan, sebab itu menggunakan bahasa Yunani.

Namun konsep ‘Logos’ dalam ajaran Neo-Platonisme tidak digunakan. Dalam filsafat Yunani, Logos adalah sebuah ‘intermediary being’ (mahluk perantara) yang bukan Allah dan bukan manusia. Konsep Neo-Platonisme mengenai ‘Logos’ ini dilatar-belakangi oleh pandangan bahwa Allah tidak mungkin berhubungan dengan dunia ciptaan yang serba berubah dan tidak tetap.

Ajaran Neo-Platonisme tentang Allah dan dunia sangat berbeda dengan ajaran Alkitab dan Kekristenan. Para penuduh tersebut jelas-jelas tidak pernah mempelajari ini. Dalam Alkitab, ‘Logos’/Firman Allah itu adalah pernyataan diri Allah sendiri. Firman Allah bukanlah keberadaan lain di luar ‘Essensi’ Allah. Alkitab menegaskan bahwa Firman Allah/’Logos’ bukan ciptaan Allah. Firman Allah/’Logos’ adalah Hikmat Allah yang berdiri di dalam ‘Esensi’ Allah.

Jadi bisa disimpulkan, kata ‘Logos’ dalam filsafat Neo-Platonisme berbeda makna dan konsepnya dengan kata ‘Logos’ yang digunakan rasul Yohanes dalam Injilnya.

Seluruh ajaran Perjanjian Baru dilatar belakangi oleh Perjanjian Lama. Dalam hal ini juga terkait tetntang makna gelar ‘Firman Allah’ bagi Yesus. Latar belakang itu dapat dilacak dari sumbernya, Tarqum Aramaic.

Tarqum adalah terjemahan paraphrase berbahasa Aram dari Perjanjian Lama bahasa Ibrani.

Seperti diketahui, setelah pembuangan ke Babel, orang-orang Yahudi menjadi terbiasa menggunakan bahasa Aram sebagai bahasa sehari-hari sementara bahasa Ibrani hanya digunakan di sinagoge dan upacara keagamaan resmi di Bait Allah.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, gelar ‘Logos’ yang diterapkan pada Yesus, sepenuhnya berakar dari latar belakang Perjanjian Lama, yakni kitab Tarqum dan hampir semua Teolog yang mempelajari Yudaisme sepakat akan hal ini. Para teolog yang dulunya berusaha mencari akar Hellenis dalam Injil Yohanes, kini beralih ke Tarqum. Menurut mereka, Injil Yohanes sepenuhnya berlatar belakang Perjanjian Lama dan bukan dunia Hellenisme. Semakin dicari persamaannya dengan dunia Yunani, semakin ditemukan perbedaan diantara keduanya.

Dalam Tarqum, ketika berbicara tentang pernyataan diri Allah, maka kata YHWH atau Elohim, hampir selalu diterjemahkan dalam bahasa Aram sebagai ‘Memra YHWH/Firman ALLAH’.

Pengertian 'Memra' ialah suatu cara Aramaik untuk menyatakan suatu ke-Ilahi-an atau kehadiran Ilahi. (The Divine Name and Presence, The Memra, Robert Hayward, pp. 134-135).

'Davar' mengandung arti kata, perbuatan dan obyek yang konkrit. 'Davar' adalah fungsi tertinggi dari seseorang karena 'davar' identik dengan perbuatannya. Kata dan perbuatan bukan arti yang berbeda dari 'davar', perbuatan adalah akibat langsung dari 'davar'.

'Memra' merupakan 'penengah ilahi' antara Tuhan yang kudus yang tidak dapat bersentuhan dengan dosa, dengan manusia yang berdosa. Walaupun Tuhan tidak bersentuhan langsung dengan dosa, Ia mengasihi manusia berdosa dan berinisiatif menjangkau manusia melalui 'Memra' (Firman).

Frasa ‘Memra YHWH’ ini terus digunakan secara konsisten dalam Tarqum untuk menunjuk pribadi Allah. Dengan kata lain, ‘Memra YHWH’ atau Firman Allah adalah semacam Nama istimewa dari Allah sendiri. Dan ungkapan inilah yang melatar belakangi penggunakan ‘Logos’ dalam Injil Yohanes.

Contoh penggunaan ‘Memra Alaha’ dalam Tarqum dibawah ini, diambil langsung dari Tarqum berbahasa Aram dan Perjanjian Lama bahasa ibrani.

Lalu bernazarlah Yakub: "Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai,sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku." (Kejadian 28:20-21)

Ayat diatas adalah terjemahan dari text bahasa Ibrani. Dalam Tarqum berbahasa Aram, kata ‘Allah’ dan ‘TUHAN’ diterjemahkan sebagai ‘Memra YHWH’ atau ‘Firman Allah’.

And Jacob vowed a vow, saying, If the Word of the Lord will be my help, and will keep me in which I go, and will give me bread to eat, and raiment to wear, and bring me again peace to my father's house; The Word of The Lord shall be my God. (Genesis 28:20-21, Targum Aramaic)

Artinya

Dan bernazarlah Yakub, ‘jika Firman Tuhan/Memra YHWH menjadi sumber pertolonganku dan menjagaku di jalan yang aku tempun dan memberikan roti untuk aku makan, dan pakaian untuk aku kenakan, serta membawa aku kembali dengan selamat ke rumah ayahku, maka Firman Tuhan/ ‘Memra YHWH’ akan menjadi Ilahku.

Kedua kutipan kitab suci di atas, baik teks Ibrani maupun Targum Aramaic, bila diperhatikan sekilas tidak ada perbedaan. Namun jika diperhatikan antara keduanya, terutama terkait penggunaan Nama Allah. Tarqum berbahasa Aram menerjemahkan kata ‘Elohim/Allah’ dan ‘YHWH/TUHAN’ menjadi ‘Memra YHWH/Firman Tuhan.’

Jadi dalam Tarqum, frasa ‘Memra YHWH/Firman Tuhan’ selalu digunakan untuk merujuk kepada Pribadi Allah sendiri.

Makna dari ungkapan Tarqum diatas, bukanlah sebuah perkataan atau kata-kata yang diucapkan, tetapi menunjuk Pribadi Allah dalam pernyataan-Nya kepada umat-Nya.

Sejauh Allah menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya, maka Tarqum Aramaic menerjemahkan nama ‘Allah’ tersebut dengan ungkapan ‘Memra YHWH’ / Firman Tuhan.

Dan dalam Injil Yohanes 1:1, Kita juga membaca penuturan rasul Yohanes melalui pewahyuan Roh Kudus, bahwa ‘Firman bersama-sama dengan Allah’. Ternyata, ungkapan ini sudah dikenal di dalam Tarqum.

Contoh:

Pada waktu malam datanglah Allah dalam suatu mimpi kepada Laban, orang Aram itu, serta berfirman kepadanya: "Jagalah baik-baik, supaya engkau jangan mengatai Yakub dengan sepatah katapun." (Kejadian 31:24)

We Atta Meymra min Qedem Alaha lwat Laban Arama'a be-khalma d-leyla. (Targum Aramaic)

Artinya:

Maka datanglah Firman bersama-sama dengan Tuhan (min Qedem Alaha) melalui mimpi kepada Laban orang Aram itu...

Dalam Perjanjian Lama bahasa Ibrani tertulis bahwa ‘Allah datang kepada Laban melalui suatu mimpi...’. Targum Aramaic di atas menerjemahkan kata Allah tersebut dengan ungkapan ‘Memra min qedem Alaha, Firman yang bersama-sama dengan Allah.

Ketika orang Yahudi membaca ungkapan tersebut dalam Targum, mereka akan langsung memahami bahwa yang dimaksud adalah Allah sendiri.

Ungkapan Targum inilah yang menjadi latar belakang dalam Injil Yohanes 1:1 bahwa Firman itu bersama-sama dengan Allah.

Contoh lain:

supaya aku mengambil sumpahmu demi TUHAN, Allah yang empunya langit dan yang empunya bumi, bahwa engkau tidak akan mengambil untuk anakku seorang isteri dari antara perempuan Kanaan yang di antaranya aku diam. (Kejadian 24:3)

"We 'aqayyem 'alad be Meymra d' Alaha, Alaha d'symaya wa Alaha ar'a." (Targum Aramaic)

Artinya:

"Agar aku mengambil sumpahmu demi Memra YHWH, (Alaha d'symaya wa Alaha d'ar'e / Allah langit dan bumi) … "

Targum menerjemahkan teks Ibrani yang berbunyi: ‘YHWH Elohe Hasy-syamayim we'lohe ha arets’...

Sekali lagi bisa dilihat bahwa dalam Targum, frasa ‘Memra YHWH’ telah menjadi semacam Nama Diri Allah sendiri ketika Dia menyatakan diri atau disebut bersama umat-Nya.

Lalu Musa membawa bangsa itu keluar dari perkemahan untuk menjumpai Allah dan berdirilah mereka pada kaki gunung. (Keluaran 19:17)

‘We afeig Moshe yat 'amma le qadmut Meymra d'Alaha min masy-rita we'it'atadu be syifole muura.’ (Targum Aramaic)

Artinya:

Kemudian Musa membawa bangsa itu untuk berjumpa Firman Allah/‘Memra Alaha’...

Dalam teks Ibrani tertulis bahwa Musa membawa umat Israel untuk menjumpai Allah.
Namun bagaimana 'cara' berjumpa umat Israel dengan Allah di dalam keterbatasan manusia yang berdosa untuk berdiri di hadapan Allah yang maha kudus dan maha tinggi?

Targum menerjemahkan teks bahasa Ibrani ini ke dalam bahasa Aram sebagai berikut: "...We afeig Moshe yat 'amma le qadmut Meymra d'Alaha"

‘Le Qadmut Meymra d'Alaha’ artinya ‘untuk bertemu dengan ‘Memra Alaha’/Firman Allah’.

Berdasarkan contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa ungkapan ‘Memra Alaha’ atau ‘Memra YHWH’ menjadi semacam sebutan khusus bagi Allah. Terutama ketika Allah, yang transendensi-NYA begitu dijaga dalam Yudaisme, dikisahkan berinteraksi dengan umat-Nya, maka digunakan ungkapan ‘Memra YHWH’ sebagai terjemahan dari kata Allah (Ibrani: Elohim atau YHWH).

Dari pengkajian ini, Kita bisa mengerti latar belakang dan makna digunakannya ‘Logos’ (Aram: ‘Memra Alaha’) dalam Injil Yohanes. Tujuan Yohanes, bila pembaca Injilnya adalah orang Yahudi, maka mereka dapat menangkap maksud ungkapan ‘Memra Alaha’ yang dia gunakan.
Sebagai orang Yahudi, rasul Yohanes tidak mungkin langsung berkata kepada mereka bahwa YHWH menjadi manusia. Karena itu, Injil Yohanes menggunakan istilah Ttheologis yang sudah dipahami oleh orang Yahudi saat itu. Maksudnya, ketika dikatakan bahwa ‘Logos’/‘Memra Alaha’ menjadi manusia, orang Yahudi dapat melihat Hakikat Yesus yang sebenarnya.

Dan sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: "Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan." (1 Timotius 3:16)

Latar belakang Perjanjian Lama ini perlu dipahami dengan baik oleh setiap umat Kristen. Mereka yang tidak mengetahui latar belakang Injil Yohanes, seringkali salah menafsirkan Injil ini.
Dalam menyatakan pewahyuan-Nya, Allah juga memperhatikan aspek-aspek budaya yang bisa menjembatani maksud Allah. Tentu sejauh hal itu tidak  bertentangan dengan aspek Etis-Moral Pribadi Allah.

Selain dasar Theologis diatas, ada hal-hal lain yang mendasarkan keyakinan umat Kristen mengapa Yesus disebut Firman Allah, terlepas dari konsep yang digunakan oleh rasul Yohanes diatas.
Dalam beberapa ayat Perjanjian Lama, Kita dalam banyak kesempatan membaca pernyataan para nabi atau bahkan ALLAH ttg bagaimana ALLAH menyatakan wahyu-Nya.

Bagaimana Kita yakin kalau Yesus Kristus adalah Firman Allah yang berbicara kepada para nabi dalam Perjanjian Lama?

Sebuah ayat dari Perjanjian Lama yang ditulis oleh nabi Yesaya menuliskan demikian:

Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya. (Yesaya 55:11)

Yesus Kristus berdasarkan Pengakuan-Nya sendiri adalah Pribadi berasal dan keluar dari Bapa (Yohanes 8:42) atau dengan sederhana dikatakan, Yesus Kristus adalah Utusan Allah yang tidak akan gagal melaksanakan kehendak Bapa. Dalam Perjanjian Lama, Allah sudah menggambarkan apa yang harus dan akan diterima Utusan-Nya.

Ketika manusia seringkali gagal melakukan Kehendak Bapa, Yesus Kristus membuktikan Dia bisa melakukan kehendak Bapa dengan sempurna, bukan dengan paksaan atau biar dibilang hebat, tapi dengan kerendahan dan kerelaan hati, taat kepada Bapa.

Bahkan ketika Dia akan diangkat sebagai raja oleh hampir segenap penduduk Israel, Dia menolak meskipun pengaruh-Nya sudah meluas; dengan segala kekurangan-Nya, Dia justru memberikan apa yang dibutuhkan oleh para murid dan mereka yang mendengarkan firman dan pengajaran-Nya. Ketika Dia dicaci, dihina dan disesah bahkan dalam keadaan tidak berdaya, Dia justru mendoakan mereka yang melakukan itu supaya diampuni oleh Bapa.

Teladan yang Dia berikan luar biasa dan tentu saja, apa yang dilakukan Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia menjawab keraguan Bapa akan diri-Nya sendiri dan juga tantangan manusia kepada Allah.

Selanjutnya ...
Apakah Yesus Kristus adalah Firman Allah yang berbicara kepada para nabi dalam Perjanjian Lama?

Ketika Kita membaca Perjanjian Lama, Kita menemukan bahwa ketika para nabi berbicara kepada manusia membawa wahyu Allah, mereka selalu berkata, "Firman Allah datang kepadaku..." Atau "Firman Allah berbicara kepadaku..." Atau "...demikianlah Firman Allah".

Tapi Yesus, dengan otoritas-Nya sebagai Firman (Davar Elohim) mengatakan kepada pengikut-Nya, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya…" atau "Amen I said to you...." atau "Kamu telah mendengar Firman tapi Aku berkata kepadamu...."

Para murid yang mendengar perkataan Yesus kemudian akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa Yesus Kristus adalah Firman yang menjadi manusia dan hal ini juga yang telah dikonfirmasi oleh Lukas dan para rasul Kristus didalam Tulisan Kudus mereka, beberapa diantaranya:

  • seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. (Lukas 1:2) 
  • Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu. (Galatia 6:6) 

  • Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup--itulah yang kami tuliskan kepada kamu. (1 Yohanes 1:1)

  • Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu. (1 Petrus 3:1)
  • Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-Nya ialah: "Firman Allah." (Wahyu 19:13)

Dengan demikian, Kita bisa menyimpulkan bahwa Yesus Kristus adalah Wujud Yang Kelihatan dari Allah.

"Almasih (Ibnullah al-hayy), fa huwa Allahu al-Zhahiru fi al-Jasad. Huwa Allah lam yakun manzhuran fi al-'ahd al-qadim,wa shara manzhuran fi al-'ahd al-Jadid fi al-Masih"

Artinya:

Kristus (Anak Allah yang Hidup), Dia adalah Allah yang menampakan diri dalam daging. Dialah Allah yang tak nampak dalam Perjanjian Lama, dan sekarang menampakan diri dalam Perjanjian Baru, di dalam Pribadi Kristus.

Sebutan "Anak Allah" bagi Yesus, hendak menunjukan kesatuan Esensi serta relasi yang utuh dan intim antara Bapa dan Firman. Gelar itu juga menegaskan bahwa Dialah yang menyatakan Pribadi Allah. Karena itu, sebutan Allah Bapa dan Anak Allah (Sang Firman/Yesus Kristus) sama sekali tidak berkonotasi biologis. Hal itu menunjukan hubungan khusus antara Bapa dan Firman-Nya, dalam kaitannya dengan inkarnasi.

Selain itu, sepanjang pelayan-Nya, Yesus kerap kali menggunakan ungkapan ‘Ego Eimi’, baik dengan predikat maupun tanpa predikat.

Misalnya,"Ego Eimi ho Artos (Akulah roti hidup)" dalam Yohanes 6:35 dan "Ego Eimi ho Poimen (Akulah Gembala)" dalam Yohanes 10:11.

Dalam ungkapan berpredikat diatas, Yesus hendak menyatakan diri-Nya sebagai Mesias yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama.

Demikian juga ketika Dia menyatakan "Ego Eimi ho Hodos, kai ho Aletheia, kai he Zoe / Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup" (Yohanes 14:6).

Pernyataan ini tidak akan mungkin diucapkan oleh manusia biasa bahkan seorang nabi besar pun tidak. Jika Yesus berani mengatakan hal itu, jelas Dia lebih dari sekedar seorang nabi. Ungkapan ‘Ego Eimi’ sendiri berasal dari ungkapan Ibrani ‘Ani Hu/Akulah Dia’. Pernyataan Allah yang menggambarkan keberadaan-Nya dalam segala kebesaran-Nya.

Septuaginta yang menerjemahkan frasa ‘Ani Hu’ menjadi ‘Ego Eimi’ dapat dilihat dalam:

Yesaya 43:10

"Attem eday neum-YHWH (Adonai). We 'avdiy asyer bakharti lema'an ted'u we ta'aminu li we tavinu ki-Ani Hu le fanay lo-notsar el we akharay lo yihyeh."

Septuaginta menerjemahkan Ayat ini sebagai berikut:

"Genesthe moi martures kago martus legei kurios ho Theos hai ho paos hon ekselesamen hina gnote kai pisteusete kai sunete hoti Ego eimi Emprosthen mou ouk egeneto allos Theos kai met eme ouk estai."

Diterjemahkan oleh LAI sebagai berikut:

"Kamu inilah saksi-saksi-Ku," demikianlah firman TUHAN, "dan hamba-Ku yang telah Kupilih, supaya kamu tahu dan percaya kepada-Ku dan mengerti, bahwa Aku tetap Dia. Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi.

Dalam kitab Yesaya di atas, ungkapan ‘Ani Hu’ diterjemahkan dalam bahasa Yunani ‘Ego Eimi’. Ungkapan yang berasal dari pernyataan Allah kepada Musa ketika Allah mengutus Musa untuk membebaskan bangsa Israel.

Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." (Keluaran 3:14)

Pernyataan ‘Aku adalah Aku’, dalam bahasa Ibrani ditulis ‘Ehyeh asyer Ehyeh’ yang dalam terjemahan Septuaginta menjadi ‘Ego Eimi ho on’ menurut tafsiran para rabbi Yahudi sendiri berkaitan erat dengan ke-Mahahadir-an Allah, baik dahulu, sekarang dan akan datang.

Inilah latar belakang ungkapan ‘Ego Eimi’ yang diucapkan Yesus.

Dengan demikian, Yesus hendak menyatakan kepada orang Israel bahwa Ia adalah 'Davar YHWH', Firman Allah yang berbicara kepada para nabi Perjanjian Lama dan yang telah menyatakan diri-Nya kepada Abraham, Ishak dan Yakub.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa keyakinan primitif mengenai dewa-dewi yang beranak dalam jazirah Arab kuno atau manusia setengah dewa akibat hubungan biologis dewa dengan manusia sama sekali asing bagi Alkitab.

** Penjelasan Singkat Yesus adalah Firman Allah oleh Pdt Teguh Hindarto, M.Th **

Purnawan Tenibemas mengatakan, 'Rasul Yohanes telah menyimak suasana pikiran zamannya, mengambil istilah yang umum di pakai dan tumpuan harapan orang sesamanya, serta memberi arti baru yang lebih dalam sesuai dengan ilham Roh Kudus kepadanya'. Berbeda dengan Tenibemas, Olla Tulluan, Ph.D., mengatakan bahwa penggunaan 'Logos' dalam Injil Yohanes di karenakan istilah itu sudah di kenal dalam lingkungan Yahudi dan Yunani, namun penggunaan 'Logos' harus di mengerti latar belakangnya dalam penyataan Tuhan dalam Perjanjian Lama. Senada dengan Olla Tullan, DR. David Stern mengulas kata 'Logos' dilihat dari latar belakang Semitik Hebraik kata Davar berdasarkan TaNaKh sebagai berikut: 'The language echoes the first sentence of Genesis…thus the TaNaKh lays the groundwork for Yochanan’s statement that the Word was with God and was God’s' (bahasa tersebut menggemakan kalimat pertama dari Kitab Kejadian…sehingga TaNaKh meletakkan dasar bagi pernyataan Yohanes bahwa Sang Firman bersama Tuhan dan Firman adalah Tuhan).

Apa yang dikatakan Yohanes mengenai Sang Firman?

  1. Dia bersama Tuhan (ay 1). Artinya, sang Firman berdiam dan sehakikat dengan Tuhan YHWH. Kata yang di terjemahkan 'bersama dengan' adalah 'pros'. Marcus Doods memberikan komentar mengenai penggunaan kata pros sebagai berikut: 'pros', implies not merely existence alongside with but personal intercourse' (kata 'pros' bukan hanya menunjukkan keberadaan bersama melainkan hubungan pribadi)
  2. Dia adalah Tuhan (ay 1). Artinya, sang Firman adalah manifestasi, ekspresi dari pikiran dan kehendak Tuhan. Dia adalah daya Kreatif, Daya Cipta yang menciptakan sesuatu menjadi ada dan bukan ciptaan.
  3. Dia menjadikan segala sesuatu (ay 3). Artinya, dari segala yang ada dan hidup, Sang Firmanlah yang menyebabkan adanya sesuatu. Dalam Kitab Kejadian 1:3, 6, 9, 11, 14 ,20, 24, 26, 29, di tegaskan bahwa Firman 'menjadikan segala sesuatu', sebagaimana ungkapan yehi wa yehi (jadilah ada maka jadilah ada). Ungkapan tersebut sejajar dengan istilah Qur’an, kun fa yakun.
  4. Dia kekal (ay 4). Artinya, Dia tidak akan mengalami kemusnahan atau eksistensi yang temporal. Dia adalah eternal. Pernyataan ini tersirat di balik istilah Yunani zoe atau Ibrani khay yang bermakna 'kehidupan yang berkualitas kekekalan'.

Penjelasan Yohanes menggemakan kembali hakikat Sang Firman dalam TaNaKh sebagai berikut:

** Firman adalah Daya Cipta Tuhan **

Mazmur 33:6 mengatakan, bi devar YHWH shamaym naasyu, ube ruakh piw, kal tsevaam yang artinya, (oleh Firman YHWH langit telah di buat dan oleh nafas dari mulut-Nya, terbentuklah semua tentara-Nya). Dalam Kitab Kejadian, sebanyak 9 kali istilah Amar (Firman) di hubungkan dengan terjadinya ciptaan. Di tuliskan, wayomer Elohim, ‘yehi wa yehi, artinya, 'jadi maka jadilah'.

** Firman adalah Utusan Tuhan  **

Mazmur 107:20 mengatakan, yislakh devaru we yirpaem… (Dia mengutus Firman-Nya dan disembuhkannya mereka)

** Firman adalah Pelaksana Kehendak Tuhan **

Yesaya 55:11 mengatakan, ken yihye devari asher yetse mipiy. Lo yashuv elay reqam. Ki imasha et asher khapatsti we hitsliyakh asher shelakhtiw (Demikianlah Dia, Firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku tidak akan kembali kepada-Ku dengan kehampaan namun Dia akan melaksanakan dengan sempurna apa yang Aku inginkan dan akan memperoleh tujuan-Nya sebagaimana Aku mengutus-Nya).

** Firman adalah Kehendak Tuhan yang di komunikasikan pada para nabi-Nya **

Yesaya 38:4 mengatakan, wa yomer et YHWH el YesaYah (Maka berfirmanlah YHWH kepada Yesaya). 

Kalangan Saksi Yehuwa menerjemahkan secara berbeda frasa Yunani kai Theos en ho Logos (Yohanes 1:1) dengan menerjemahkannya sebagai berikut, Dan firman adalah suatu (tuhan). Terjemahan ini untuk mendukung pandangan mereka yang menolak keilahian Yesus. Donald Guthrie membahas kesalahpahaman penafsiran tersebut tersebut dan memberikan penilaiannya sebagai berikut: "Dalam Yohanes 1:1 dalam bahasa Yunani, kata Theos tidak mempunyai kata sandang, hal ini telah menyesatkan banyak orang yang berpikir bahwa pengertian yang benar dari pernyataan itu ialah, ‘Firman itu adalah seorang tuhan’, tetapi secara tata bahasa pengertian itu tidak dapat di pertahankan, karena kata Theos merupakan predikat. Tidak dapat di ragukan bahwa Yohanes bermaksud agar para pembacanya mengerti bahwa Firman itu memiliki sifat (Ketuhanan), tetapi ia tidak bermaksud bahwa Firman dan Tuhan merupakan istilah yang sama artinya, karena pernyataan sebelumnya dengan jelas membedakan keduannya. Seharusnya pernyataan ini berarti bahwa walaupun Firman itu adalah Tuhan, namun pengertian tentang (Ketuhanan) mencakup lebih dari Firman…dengan beberapa kata ia telah memberi kesan mengenai sikap dan kedudukan Ketuhanan dari Firman yang selalu bersama-sama dengan (Tuhan)."

Implikasi teologis frasa 'Firman itu telah menjadi manusia' bahwasanya Yesus memiliki aspek keilahian dan sekaligus aspek kemanusiaan. Aspek keilahian tersebut dinampakkan bahwa hakikat Yesus adalah Sang Firman yang setara, sehakikat, melekat dengan Tuhan (Yohanes 1:1). Firman tidak diciptakan melainkan daya cipta Tuhan yang menjadikan segala sesuatu ada (Kejadian 1:3, Mazmur 33:6, Yohanes 1:3).

Karena Firman tidak diciptakan maka Firman itu kekal adanya. Firman bukan yang begitu saja serupa dengan Tuhan sebagaimana terungkap dalam frasa, 'Firman itu bersama dengan Tuhan' (Yohanes 1:1) namun serentak bahwa Firman bukan yang berbeda dengan Tuhan hal itu terungkap dalam frasa 'Firman itu adalah Tuhan' (Yohanes 1:1). Frasa 'bersama Tuhan' menunjukkan perbedaan fungsional dan frasa 'adalah Tuhan' menunjukkan kesatuan dan kesehakikatan dalam Ketuhanan.

Yesus adalah ‘Memra Elohim’ yang menjadi manusia, Firman yang berasal dari Bapa dan karenanya sehakekat dengan Bapa; ‘Pengantara ilahi’ yang datang dalam Nama YHWH, yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Bapa. Allah begitu besar dan jauh dari umat-Nya, namun melalui Firman-Nya, umat Allah mengenal-Nya.

Pustaka