Transedensi Ilahi Dan Imanensi Ilahi Didalam Perspektif Iman Kristen Lewat Sudut Pandang Protestan Injili
Disadur
dari tulisan:
Kita
Percaya Kepada Allah oleh Third Millennium Ministries
Saya
mendengar tentang seorang pemuda yang mengajak temannya untuk mendengarkan
seorang pemain musik yang baru di kota mereka. “Kamu pasti suka orang ini,” ia
meyakinkan temannya.
“Seperti
siapa orang ini?” tanya temannya.
Pemuda
itu menjawab dengan penuh semangat, “Dia tidak seperti siapa pun yang pernah
kamu dengar. Kamu akan terheran-heran melihat betapa berbedanya dia.”
Kita
semua memiliki pengalaman seperti ini. Sering kali orang-orang yang kita kagumi
dalam beberapa hal mirip dengan orang-orang lain, tetapi kesamaan-kesamaan ini
biasanya tidak menarik perhatian kita. Yang lebih sering terjadi adalah bahwa
kita sangat mengagumi mereka karena mereka begitu berbeda dari yang lain. Dan
dalam banyak hal, kita dapat mengatakan hal yang sama tentang Allah. Setiap
pengikut Kristus yang setia menghormati dan menyembah Allah karena segenap
diri-Nya dan segala yang dilakukan-Nya. Namun yang sering kali membuat roh kita
takjub ialah betapa berbedanya Allah dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Kesempurnaan
dari esensi Allah yang dinyatakan melalui berbagai manifestasi historis.
Atribut-atribut
Allah adalah ciri-ciri esensi-Nya, tanpa ini Dia bukanlah Allah.
Para Teolog umumnya berbicara tentang
dua bentuk utama, atau kelompok utama, dari atribut-atribut Allah.
Atribut-atribut-Nya yang dapat dikomunikasikan adalah ciri-ciri dari esensi
Allah yang dapat dibagikan kepada ciptaan dalam cara yang terbatas.
Atribut-atribut-Nya yang tidak dapat dikomunikasikan adalah ciri-ciri dari
esensi Allah yang tidak dapat dibagikan kepada ciptaan. Dalam pelajaran ini,
kita akan berkonsentrasi pada kelompok yang kedua, yaitu atribut-atribut Allah
yang tidak dapat dikomunikasikan — betapa berbedanya Dia dari ciptaan-Nya.
Ketika kita berbicara tentang siapa
Allah dan apa yang Kitab Suci nyatakan kepada kita tentang siapa Allah — yang
dinamakan atribut-atribut Allah — manusia membedakannya dalam hal-hal yang
dapat dikomunikasikan, artinya hal-hal yang seperti kita, atau yang tidak dapat
dikomunikasikan, yaitu hal-hal yang sangat berbeda di antara Allah dan kita…
Mengapa pembedaan ini penting? Ini penting karena hal ini membantu kita untuk
memahami siapa Allah — Allah yang berbeda… Jika kita memikirkan sebuah kata
seperti “aseity,” yang artinya Allah ada hanya dengan membuat diri-Nya
sendiri ada. Dengan kata lain, Ia tidak tergantung pada apa pun; sedangkan kita
tergantung pada Dia untuk eksistensi kita — itulah hal yang mengatakan pada
kita, baiklah, ada sesuatu yang sangat berbeda tentang siapa Allah dan siapa
kita. Jadi, pembedaan atribut-atribut yang dapat dan yang tidak dapat
dikomunikasikan ini perlu untuk membantu kita mengenal siapa Allah, juga
membantu kita mengetahui bagaimana Allah adalah Allah dan kita bukan.
— Vincent Bacote, Ph.D.
Wahyu
umum memberi kita banyak wawasan tentang atribut-atribut Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan apabila kita membandingkan karakteristik esensi Allah dengan
karakteristik ciptaan-Nya. Kaum Skolastik abad pertengahan menamakan strategi
ini “via negationis,” atau “cara kontradiksi.” Namun, seperti telah kita
lihat, sepanjang sejarah Allah telah memberikan wahyu khusus kepada umat-Nya
untuk menuntun kita sementara kita merenungkan wahyu umum. Dan sebagai
pengikut-pengikut Kristus masa kini, ini berarti bahwa kita harus berupaya
semaksimal mugkin agar kepercayaan kita tentang hal-hal ini bertumpu di atas
dasar pengajaran Biblika.
Di
zaman gereja mula-mula dan abad pertengahan, Teologia sangat dipengaruhi oleh
konsep tentang Allah menurut filsafat Yunani. Filsafat Yunani menekankan bahwa
Allah adalah transenden, dan karenanya terpisah sama sekali dari sejarah. Di
bawah pengaruh ini, para Teolog Kristen mengenali atribut-atribut Allah yang
tidak dapat dikomunikasikan dalam hampir setiap halaman dari Kitab Suci. Tetapi
di zaman modern, banyak Teolog terkemuka yang kritis, dan bahkan juga sejumlah
kalangan Injili, telah meninggalkan pengaruh Yunani ini. Alih-alih menekankan
transendensi Allah, mereka berfokus pada imanensi-Nya — keterlibatan-Nya dalam
sejarah. Dan karena ini, sering kali banyak orang Kristen yang tulus yang
meremehkan, dan bahkan menyangkal, bahwa Alkitab mendukung doktrin tradisional
dari atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan. Oleh karena banyak
keraguan terkait hal ini, perlu kita menunjuk pada suatu pandangan mendasar
tentang Allah yang meresapi Kitab Suci. Yang dimaksudkan di sini adalah
bagaimana penulis-penulis dan tokoh-tokoh Alkitab sering kali menyebutkan fakta
bahwa Allah tidak ada bandingan-Nya — Ia tidak tertandingi; tiada taranya;
tertinggi. Sebagai contoh, dalam 1 Raja-raja 8:23, pada waktu penahbisan Bait
Suci, Salomo memuji Allah demikian:
Ya TUHAN, Allah Israel! Tidak ada Allah
seperti Engkau di langit di atas dan di bumi di bawah (1 Raja-raja 8:23).
Perhatikanlah
bahwa pernyataan Salomo tentang Allah yang tidak ada bandingannya ini tanpa
perkecualian. Tidak ada allah “di langit di atas dan di bumi di bawah” yang
“seperti [Allah]”. Kita mendapati pernyataan-pernyataan serupa dalam Mazmur
71:19; Mazmur 86:8; and Mazmur 89:7. And in 2 Samuel 7:22 Daud mengatakan
demikian:
Engkau besar, ya Tuhan ALLAH, sebab
tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau (2 Samuel
7:22).
Diatas
merupakan pernyataan essensial Daud yang mengatakan bahwa Allah tidak ada
bandingan-Nya. Daud mengatakan bahwa Allah itu besar dan tidak ada yang sama
seperti [Dia].
Ayat-ayat
ini dan ayat-ayat lain yang serupa meneguhkan dasar Biblika yang membenarkan
penelitian yang saksama dari kesempurnaan Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan. Ayat-ayat ini mencerminkan ajaran Biblika yang konsisten bahwa
Allah terlalu tinggi untuk dapat dibandingkan dengan ciptaan-Nya. Di masa
sekarang ketika aspek Teologis ini dipertanyakan oleh sejumlah kalangan, dan
sangat diremehkan oleh banyak orang, Kitab Suci tetap mengungkapkan bahwa Allah
tiada tandingannya. Dan kenyataan ini menuntut kita untuk belajar sebanyak
mungkin mengenai perbedaan Allah dengan ciptaan-Nya.
Setelah
mengamati dasar Biblika untuk mengenali atribut-atribut Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan, selanjutnya tentang keanekaragaman Teologis terkait hal ini di
antara kalangan Injili.
**
Keanekaragaman Teologis **
Kitab
Suci tidak memberi kita sebuah daftar yang pasti dan lengkap dari
atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan. Sebaliknya, pengajaran Biblika
terkait hal-hal ini hanya muncul di sana sini, dengan cara ini dan itu. Karena
itu, mengenali kesempurnaan ilahi ini mirip dengan menyusun sebuah panel
jendela yang rumit rancangannya dari pecahan kaca berwarna dengan berbagai
bentuk dan warna yang muncul di berbagai tempat dalam Alkitab. Dapat Anda
bayangkan, betapa rumitnya proses pengenalan bentuk-bentuk dan warna
pecahan-pecahan itu dan proses pencatatan dan penyatuannya. Jadi, meskipun kita
mempunyai banyak kesamaan terkait pandangan kita, tidak mengherankan jika
kalangan Injili membuat berbagai daftar yang berbeda-beda dari atribut-atribut
Allah yang tidak dapat dikomunikasikan.
Kita
dapat mencoba memahami keanekaragaman Teologis ini dengan beberapa cara. Tetapi
untuk mempermudah, mari kita melihat tiga naskah historis dari beberapa
denominasi Gereja Protestan.
Augsburg
Confession
Ada satu Esensi Ilahi yang dinamakan
Allah dan yang memang adalah Allah: kekal, tanpa tubuh, tanpa bagian-bagian,
memiliki kuasa, hikmat, dan kebaikan yang tak terbatas. (Augsburg Confession dari
Denominasi Lutheran – 1530 AC)
Di
sini kita lihat bahwa Augsburg Confession berbicara tentang enam kesempurnaan
ilahi. Lazimnya istilah-istilah kuasa, hikmat, dan kebaikan diasosiasikan
dengan atribut-atribut Allah yang dapat dikomunikasikan, meskipun sebenarnya
ini merupakan penyederhanaan yang berlebihan. Ciptaan Allah, dan teristimewa
manusia, mendapat bagian dalam ciri-ciri ini dalam skala terbatas sebagai
makhluk yang fana. Juga adalah hal yang lazim untuk mengidentifikasi hal kekal,
tanpa tubuh, tanpa bagian-bagian, dan istilah tak terbatas, dengan
atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan. Dalam hal-hal ini Allah
berbeda dari ciptaan-Nya.
Belgic
Confession
Hanya ada satu Keberadaan rohani yang
tunggal, yang kita namakan Allah … Ia kekal, tidak dapat dipahami, tidak
kasatmata, tidak berubah, tidak terbatas, mahakuasa, bijaksana, adil, baik, dan
sumber segala kebaikan yang melimpah. (Belgic Confession dari Denominasi
Presbiterian/Reformed Calvinist – 1561 AC)
Kita
lihat di sini, setelah menyatakan bahwa Allah adalah Keberadaan yang rohani,
berdasarkan perkataan Yesus dalam Yohanes 4:24, Belgic Confession
mendeskripsikan Allah dengan sepuluh istilah lain. Sekali lagi, ini adalah
penyederhanaan yang berlebihan, tetapi pada umumnya, para Teolog memandang
sebutan mahakuasa, bijaksana, adil dan baik sebagai atribut-atribut yang dapat
dikomunikasikan, karena kita berbagi kuasa, hikmat, keadilan dan kebaikan
dengan Allah pada skala makhluk yang fana. Istilah tunggal — yang artinya Allah
tidak terbagi dalam bagian-bagian — kekal, tidak dapat dipahami — yang berarti
kita tidak dapat memahami sesuatu pun tentang Allah sepenuhnya — tidak
kasatmata, tidak berubah — atau tetap — dan tidak terbatas, biasanya dipandang
sebagai atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan.
Westminster
Shorter Catechism
Pertanyaan dan Jawaban nomor 4 dari
Westminster Shorter Catechism berbunyi sebagai berikut:
Apakah Allah?
Katekismus menjawab:
Allah adalah Roh, tidak terbatas, kekal,
dan tidak berubah, dalam keberadaan-Nya, hikmat, kuasa, kekudusan, keadilan,
kebaikan, dan kebenaran-Nya.
(Westminster Shorter Catechism dari
Golongan Puritan Reformed – 1640 AC)
Setelah
mendeskripsikan Allah sebagai Roh, Katekismus Singkat ini mencatat sepuluh
kesempurnaan ilahi. Sekali lagi, hal-hal ini sebenarnya rumit, tetapi sudah
lazim orang berbicara tentang keberadaan, hikmat, kuasa, kekudusan, keadilan,
kebaikan, dan kebenaran sebagai atribut-atribut yang dapat dikomunikasikan. Dan
juga lazim untuk mengidentifikasi tidak terbatas, kekal dan tidak berubah, atau
tetap, dengan atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan.
Apabila
kita membandingkan ketiga daftar dari atribut-atribut Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan ini, kita dapat melihat bahwa ketiganya tidak sama.
Ketiga-tiganya menyebutkan bahwa Allah kekal dan tidak terbatas. Tetapi hanya
Belgic Confession dan Shorter Catechism yang menegaskan bahwa Allah adalah
Keberadaan rohani atau Roh, dan bahwa Allah tetap atau tidak berubah. Hanya
Augsburg Confession yang menegaskan bahwa Allah itu tanpa tubuh dan tanpa
bagian-bagian. Dan hanya Belgic Confession yang mengatakan bahwa Allah itu
tunggal, tidak dapat dipahami dan tidak kasatmata.
Kita
melihat dari perbandingan-perbandingan ini, bahwa kalangan Injili
mengekspresikan atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan dalam
cara-cara yang berbeda. Tetapi berapa banyak perbedaan subtansial yang terlihat
dalam daftar ini?
Ketika
umat Kristen pertama kali mengetahui bahwa kalangan Injili tidak semuanya
menggunakan terminologi yang sama untuk atribut-atribut Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan, mereka sering kali berasumsi bahwa kita mempercayai hal-hal
yang sangat berbeda tentang Allah. Sebagaimana dalam setiap aspek dari Teologia
Sistematika, memang keanekaragaman di antara kita sering kali menunjukkan
penekanan Teologis yang berbeda-beda. Tetapi yang lebih sering terjadi ialah
bahwa perbedaan-perbedaan dalam daftar kita dari atribut-atribut Allah yang
tidak dapat dikomunikasikan hanya menunjukkan keanekaragaman dalam
terminologi. Meskipun pengikut-pengikut Kristus yang setia menggunakan
istilah-istilah teknis yang berbeda-beda untuk mencatat atribut-atribut Allah
yang tidak dapat dikomunikasikan, secara umum daftar-daftar ini tidak
menunjukkan perbedaan yang berarti dalam konsep atau kepercayaan kita tentang
Allah.
Ketika para Teolog melakukan pekerjaan
mereka, atau ketika sekelompok orang percaya berkumpul untuk berupaya menyusun
pengakuan-pengakuan yang dapat diberikan kepada Gereja, untuk dapat
mendeskripsikan kepercayaan dan Teologia Gereja, dalam semuanya ini, Anda
berusaha mendeskripsikan realitas yang sama, jika umat memang sependapat. Namun
pilihan-pilihan mereka mungkin berbeda. Maksud saya, jika kita memikirkan
tentang sebuah deskripsi dari Allah, kita mengerti bahwa Allah adalah satu
keberadaan dalam Tiga Pribadi, tetapi Allah itu Esa. Namun Allah memiliki
atribut-atribut yang berbeda… Tidak mengherankan bahwa ketika kita mulai
berbicara tentang hal yang sebesar dan sepenting itu, kita mempergunakan
kata-kata yang berbeda… Kita perlu berupaya mencari apa yang mendasari hal yang
sedang diusahakan untuk dideskripsikan itu, dan membandingkan hal-hal itu. Dan
yang bisa lebih membingungkan lagi ialah apabila dua kelompok orang yang
berbeda mempergunakan kata yang sama untuk mendeskripsikan dua hal yang amat
berbeda. Maka kita harus mengerti bahwa kita tidak bisa sekadar menempatkan
kata-kata itu berdampingan untuk membandingkannya. Kita harus berusaha menggali
di balik kata-kata tersebut untuk menemukan apa yang hendak dideskripsikan oleh
para Teolog atau para penulis dari pengakuan-pengakuan ini, kita harus menimba
apa yang terpendam di bawahnya dan membandingkannya dan melihat apakah ada
perbedaan atau tidak di sana. Dan sering kali ketika kita melakukan hal itu
kita mendapati bahwa perbedaannya tidak sebesar yang kita sangka, sebab ini
tetap adalah pengakuan-pengakuan yang berakar dalam otoritas Kitab Suci dan
karya Kristus. Jadi, meskipun mereka mempergunakan kata-kata yang berbeda untuk
mendeskripsikan satu realitas, tetaplah realitas yang satu itu yang mereka
maksudkan.
— Dr. Tim Sansbury
** Note **
Teologi
Sistematika adalah disiplin teologi Kristen yang merumuskan tertib, rasional,
dan koheren rekening doktrin-doktrin iman Kristen dengan subdisiplin dogmatika,
etika dan filsafat agama.
Teologi
sistematika mengacu pada dasar teks-teks suci agama Kristen, sekaligus
menyelidiki perkembangan ajaran Kristen selama sejarah, khususnya melalui
filsafat, ilmu pengetahuan dan etika. Yang melekat pada suatu sistem pemikiran
teologis adalah bahwa metode ini dikembangkan, salah satu yang dapat diterapkan
baik secara luas dan terutama. Menggunakan teks-teks Alkitab, ia mencoba untuk
membandingkan dan menghubungkan semua kitab suci dan membuat sistematis
pernyataan pada apa yang Alkitab katakan tentang isu-isu tertentu.
Hal
ini penting ketika kita menyadari bahwa istilah-istilah lain sering kali juga
digunakan bagi atribut-atribut ini. Sebagai contoh, kalangan Injili sering kali
menunjuk pada kemahahadiran Allah, kenyataan bahwa Allah ada di mana-mana;
kemahatahuan Allah, kenyataan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu; dan
kemahakuasaan Allah, kenyataan bahwa Allah berkuasa di atas segalanya. Banyak Teolog
juga berbicara tentang aseity Allah, kenyataan bahwa Allah ada dari
diri-Nya sendiri dan tidak tergantung dari penciptaan-Nya; dan kedaulatan
Allah, kenyataan bahwa Allah mengendalikan ciptaan sepenuhnya. Memang, ada
perbedaan pendapat terkait beberapa rincian dari doktrin-doktrin ini. Namun
pada umumnya, perbedaan-perbedaan dalam terminologi tidak menunjukkan perbedaan
pendapat yang berarti di antara Teolog dan Akademisi Injili yang
berpengetahuan.
** Note **
Aliran
Injili adalah ungkapan yang digunakan untuk membahas gerakan dalam agama
Kristen Protestan yang menekankan sebuah hubungan pribadi dengan Yesus Kristus.
Hubungan pribadi ini dimulai ketika seseorang menerima pengampunan Kristus dan
dilahirkan baru. Mereka yang mengakui kepercayaan ini disebut injili.
Istilah
Injili sendiri berasal dari kata Yunani euangelion, yang berarti
"kabar baik," dan euangelizomai, yang berarti
"mengabarkan sebagai berita yang baik." Kabar baiknya ialah bahwa
"Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa
Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga,
sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan
kemudian kepada kedua belas murid-Nya" (1 Korintus 15:3b-5). Kabar baik
ini, yang adalah injil Kristus, dan pengabarannya menjadi basis bagi aliran
Injili.
Akar
aliran Injili dapat dilacak kepada Reformasi Protestan, pada waktu Alkitab
disebarluaskan pada semua orang. Kebenaran Alkitab yang dahulunya diabaikan
teringat kembali dan diajarkan. Namun gerakan Injili sebenarnya dimulai pada
kebangkitan rohani di abad ke-18 dan 19 di Eropa dan Amerika. Sebagaimana
kasusnya dengan Reformasi, gerakan Injili dengan penekanannya terhadap hubungan
pribadi dengan Yesus Kristus membawa bersamanya semangat baru dalam menafsirkan
dan menerapkan Firman Allah dengan tepat.
**
Perspektif Biblika **
Tidak
begitu sulit untuk menyusun sebuah daftar dari ekspresi-ekspresi yang
mendeskripsikan bagaimana perbedaan Allah dengan ciptaan-Nya. Tapi lebih sulit
untuk mengasosiasikan ekspresi-ekspresi ini dengan begitu banyak pengajaran
Kitab Suci yang relevan. Atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan
adalah beberapa konsep yang paling abstrak dalam Teologia Kristen. Karena itu,
orang-orang Kristen sering kali menafsirkan ekspresi-ekspresi ini secara sangat
berbeda satu dengan yang lain.
**
Transendensi Ilahi **
Transendensi mempunyai konsep di atas,
di atas dan melampaui, jadi jika kita berbicara tentang transendensi Allah,
yang kita maksudkan adalah bahwa Dia transenden. Allah dalam natur hakiki-Nya
sendiri. Sebenarnya, ini adalah bahasa kiasan — maksudnya cara kita berpikir
tentang Allah, kita harus merenungkan bahwa Allah lebih besar dan di atas
manusia. Jadi berbicara tentang transendensi Allah, atau transendensi ilahi,
adalah mendeskripsikan Allah sebagai Allah yang secara hakiki, dalam natur-Nya,
adalah Allah… bukan berhala, bukan allah yang dimanipulasi oleh manusia atau
dikendalikan secara gaib, melainkan Allah. Jadi bagian dari merenungkan siapa
Allah itu, adalah menerima bahwa Dia benar-benar Allah, dan karena itu layak
disembah… Yesaya: “kudus, kudus,” Allah yang besar dan dahsyat ini, sang
Pencipta, penguasa waktu dan ruang, jauh lebih tinggi melampaui segenap
ciptaan-Nya, dan jauh di atas dan di luar manipulasi manusia.
— Dr. Josh Moody
Dengan
kata lain, ketika kita berbicara tentang “transendensi ilahi” maksudnya ialah
Allah tidak dibatasi oleh pembatasan-pembatasan yang ditetapkan-Nya bagi
ciptaan-Nya. Ia ada di atas dan di luar ciptaan. Setiap daftar baku dari
atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan didasarkan pada apa yang
Alkitab ajarkan mengenai transendensi Allah.
Westminster
Shorter Catechism, Pertanyaan 4 yang dituliskan diatas berbicara tentang
transendensi ilahi dengan mencatat tiga kesempurnaan yang tidak dapat
dikomunikasikan, yaitu bahwa Allah tidak terbatas, kekal dan tidak berubah.
Mari kita lihat dulu bagaimana Kitab Suci mengajar bahwa Allah tidak terbatas.
Tidak
terbatas. Banyak orang
Kristen tidak menyangka bahwa kata “tidak terbatas” tidak didapati dalam
Alkitab. Sebenarnya, ini adalah istilah teknis filosofis untuk sebuah konsep
yang muncul dalam beragam cara di seluruh Kitab Suci. Dalam bahasa Inggris,
kata “infinite” diterjemahkan dari dua istilah Teologis bahasa Latin.
Yang pertama adalah immensus, yang berarti “tidak terukur” atau “tidak
terhitung.” Yang kedua adalah infinitus, yang berarti “tidak
berkesudahan” atau “tidak terbatas.” Jadi, ketika kita mengatakan Allah tidak
terbatas, maksudnya ialah Allah bertolak belakang dengan ciptaan-Nya yang
terbatas. Ia tidak terukur, tidak terhitung, tidak berkesudahan, dan tidak
terhingga. Dengan kata lain: kesempurnaan Allah tidak ada batasnya.
Sejumlah
ayat Alkitab dengan gamblang menunjuk pada bermacam-macam ketidakterbatasan
Allah. Contohnya, dalam 1 Raja-raja 8:27, Salomo mengindikasikan bahwa Allah
tidak dapat dibatasi oleh ruang ketika ia menyatakan kepada Allah, “bahkan
langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Engkau.” Dan, dalam
Roma 11:33, Paulus mengindikasikan bahwa pengetahuan dan hikmat Allah tidak
dapat diukur ketika ia berbicara tentang “tak terselidiki
keputusan-keputusan-Nya dan … tak terselami jalan-jalan-Nya.” Dan, seperti
dikatakan Pemazmur dalam Mazmur 139:6, Allah begitu besar sehingga pengetahuan
tentang Dia “terlalu ajaib … terlalu tinggi … [untuk] mencapainya.” Ayat-ayat
ini dan ayat-ayat lain yang serupa mengindikasikan bahwa benarlah jika orang mengatakan
bahwa Allah tidak terbatas dalam kesempurnaan-Nya.
Ketidakterbatasan Allah artinya Allah
tidak terhingga. Kita hidup dalam batasan koordinat ruang dan waktu. Hidup kita
berlangsung dalam batasan waktu dan ruang. Kedua koordinat itu pun sulit untuk
dibicarakan dalam keadaan abstrak. Jadi, jika kita mengatakan Allah tidak
terhingga, kita sedang berupaya mengutarakan, mengomunikasikan, bahwa Allah
tidak dibatasi seperti kita oleh waktu dan ruang. Jadi, mengatakan eksistensi
temporal Allah [terkait waktu], atau eksistensi spasial [terkait ruang], adalah
pemakaian kata yang keliru. Allah sebenarnya — sekali lagi, kita menggunakan
bahasa untuk berbicara mengenai suatu pengalaman yang melampaui pengalaman kita
sendiri — berada di luar waktu, tetapi di sini pun kita menggunakan bahasa
spasial untuk berbicara tentang waktu. Jadi berbicara tentang ketidakterbatasan
Allah adalah mengatakan bahwa Allah tidak dibatasi seperti kita dibatasi.
— Dr. Richard Lints
Di
samping meneguhkan transendensi ilahi dengan cara mengungkapkan bahwa Allah itu
tidak terhingga, Kitab Suci juga merujuk secara langsung pada gagasan abstrak
bahwa Allah itu kekal.
Kekal. Kata “kekal” kerap kali dipergunakan
untuk menerjemahkan istilah-istilah Biblika “ad” (עַד), “olam” (עוֹלָם)
dan kadang-kadang “natsach” (נֵצַח) dalam Perjanjian Lama, dan “aión”
(αἰών) dan “aiónios” (αἰώνιος) dalam Perjanjian Lama bahasa Yunani (Septuaginta)
dan Perjanjian Baru. Memang istilah-istilah ini juga diterapkan pada
aspek-aspek ciptaan, tetapi tidak dalam arti yang sama seperti jika diterapkan
pada Allah. Ciptaan adalah temporal, sementara, terbatas oleh waktu
dalam berbagai cara. Tetapi Allah tidak. Allah itu kekal dalam arti bahwa
kesempurnaan Allah tidak tergantung pada waktu.
Sejumlah
ayat Alkitab berbicara tentang dimensi-dimensi yang berbeda dari kekekalan
Allah. Contohnya, 1 Timotius 1:17 berbicara tentang Allah sebagai penguasa yang
kekal. Ayat ini berbunyi, “Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja
segala zaman, Allah yang kekal … yang esa.” Makhluk-makhluk sorgawi memuji
Allah sebagai yang kekal dalam Wahyu 4:8, ketika mereka menyebut Dia “yang
sudah ada, dan yang ada, dan yang akan datang.” Dan 2 Petrus 3:8 menceritakan
bagaimana Allah melampaui seluruh sejarah dengan mengatakan, “Di hadapan Tuhan
satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari.”
Ayat-ayat ini dan banyak ayat lain yang serupa menunjukkan dengan jelas bahwa
kesempurnaan Allah itu kekal.
Alkitab kerap kali berbicara bahwa Allah
itu kekal. Ini berarti dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, jadi tidak
ada awal di mana tidak ada Allah atau ketika Allah tidak eksis. Ciptaan tidak
kekal. Ciptaan mempunyai awal. Seluruh alam semesta mempunyai awal. Allah
menciptakan langit dan bumi dari ketiadaan. Tetapi Allah tidak mempunyai awal.
Allah sudah ada dari kekekalan tanpa akhir, dan Allah adalah Allah
selama-lamanya, jadi dari selama-lamanya hingga selama-lamanya. Maka, “kekal”
menunjukkan bahwa Dia ada dari selama-lamanya sampai selama-lamanya. Tidak ada
suatu waktu di mana Allah tidak eksis, baik di masa lampau maupun di masa
depan.
— Rev. Dr. Paul R. Raabe
Kitab
Suci tidak hanya menunjukkan transendensi ilahi dengan meneguhkan bahwa Allah
tidak terbatas dan kekal, tetapi juga secara gamblang menunjuk pada fakta bahwa
Allah tidak berubah.
Tidak
berubah. Ada beberapa
istilah Biblika yang mengindikasikan bahwa Allah tidak berubah. Kata kerja
bahasa Ibrani “shanah” (שָׁנָה) artinya “berubah.” Kata kerja “nacham”
(נָחַם) artinya “berganti pikiran.” Dan dalam Perjanjian Baru kata benda bahasa
Yunani “parallagé” (παραλλαγή) berarti “perubahan” atau “variasi.” Dari
pengalaman kita sehari-hari dan dari Alkitab, jelaslah bahwa segala sesuatu
dalam ciptaan, pada tingkat tertentu, dapat berubah. Tetapi jika
istilah-istilah itu diterapkan pada Allah, ini menunjukkan bagaimana Allah
secara mengagumkan berbeda dari ciptaan-Nya. Menurut Alkitab, kesempurnaan
Allah tidak dapat berubah.
Allah
sendiri mengatakan dengan jelas bahwa Ia tidak berubah dalam Maleakhi 3:6.
Dalam ayat ini, Ia mengontraskan natur-Nya yang tetap dengan komitmen Israel
yang tidak stabil dengan berfirman, “Aku, TUHAN, tidak berubah.” Bilangan 23:19
mengontraskan Allah dengan manusia dengan mengatakan, “Allah bukanlah manusia,
… sehingga Ia menyesal.” Dan dalam Yakobus 1:17, Yakobus meyakinkan para
pendengarnya akan kekonsistenan Allah dengan mendeskripsikan Dia sebagai “Bapa
segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”
Ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang serupa menggambarkan Allah sebagai Dia
yang tetap atau tidak berubah.
Allah tidak berubah, dan hal ini
dinyatakan secara khusus di banyak bagian Alkitab, tetapi yang paling menonjol
adalah, “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai
selama-lamanya.” Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah tidak berubah,
namun dalam Alkitab didapati hal-hal yang terkesan seperti perubahan. Contohnya,
ketika kita berbicara tentang hukum Allah, Alkitab tidak mengindikasikan bahwa
Allah agak melunak dengan bergulirnya waktu. Ingat, Allah tidak menurunkan
standarnya. Bukan seolah-olah Dia memandang umat manusia selama beberapa ribu tahun
dan berkata, “Memang, Aku sudah tahu mereka tidak sempurna, tetapi sekarang Aku
melihat betapa tidak sempurnanya mereka, jadi mereka tidak perlu mencapai
standar yang sama.” Hal-hal itu tidak pernah berubah. Apa yang Allah
beritahukan kepada Musa di Gunung Sinai dan yang Allah ungkapkan di seluruh
Kitab Suci, masih tetap sama. Kita dituntut untuk memenuhi standar yang sama,
yang akan sangat menakutkan seandainya tidak ada berita Injil yang juga tidak
berubah, bahwa Allah mengasihi ciptaan-Nya sejak dahulu, dan khususnya sangat
mengasihi umat manusia sehingga Ia datang ke dalam dunia untuk membawa
perbedaan dalam kehidupan kita, untuk mengubahnya supaya kita tidak dibuang ke
neraka untuk selamanya, melainkan dapat hidup bersama Dia di surga untuk selamanya…
Kenyataan bahwa Allah tidak berubah merupakan peringatan bagi kita dan
sekaligus penghiburan yang besar.
— Dr. Jeffery Moore
Apabila
kita merenungkan wahyu umum dan Kitab Suci, sulit untuk menyangkali kenyataan
bahwa Allah melampaui ciptaan-Nya dalam ketiga hal ini. Ciptaan terbatas,
tetapi Allah tidak terbatas. Ciptaan temporal, Allah kekal. Ciptaan dapat
berubah, tetapi Allah tidak berubah.
Namun,
kita harus berhati-hati di sini. Istilah-istilah seperti “tidak terbatas,”
“kekal” dan “tidak berubah” ini begitu abstrak sehingga penafsirannya sering
kali keliru. Sebagai contoh, umat Kristen yang baru mulai belajar, menganut
pandangan yang ekstrem dan liberal. Mereka berbuat seolah-olah atribut-atribut Allah yang
tidak dapat dikomunikasikan ini membentuk dinding pembatas yang tidak dapat
ditembus di antara Allah dan ciptaan-Nya. Meskipun banyak pengajaran yang
dengan jelas menegaskan hal yang sebaliknya, baik dalam Kitab Suci maupun Teologia
Sistematika, ada orang-orang yang hanya melihat transendensi Allah. Mereka
meyakinkan dirinya sendiri bahwa karena Allah itu tidak terbatas, kekal dan
tidak berubah, maka Dia tidak dapat benar-benar masuk dan terlibat dalam dunia
yang terbatas, temporal dan berubah.
Contohnya,
banyak orang berpendapat bahwa karena Allah memiliki pengetahuan yang tidak
terbatas, Allah tidak pernah menyelidiki keadaan. Tetapi Kitab Suci kerap kali
menceritakan hal yang sebaliknya. Misalnya, dalam Kejadian 18:20-21, Allah
mengutus malaikat sebagai mata-mata untuk menyelidiki dosa Sodom dand Gomora.
Demikian
pula, ada orang-orang yang berpendapat bahwa karena Allah itu kekal, Allah
tidak pernah menunggu untuk menanggapi ketaatan dan ketidaktaatan manusia.
Kenyataannya, Ia cukup sering melakukan hal ini. Contohnya, Ulangan 8:2 menceritakan
pada kita bahwa Allah menunggu untuk menghakimi Israel setelah keluar dari
tanah Mesir hingga setelah umat itu gagal dalam ujian-ujian ketaatan mereka.
Selain
itu, banyak orang mengatakan bahwa karena Allah tidak berubah, Allah tidak
merespons doa-doa. Tetapi Allah merespons doa-doa di seluruh Alkitab. Kita
melihat hal ini di bagian seperti Keluaran 32:14. Setelah Allah mengatakan
bahwa Ia akan membinasakan bangsa Israel di kaki gunung Sinai, Ia merespons doa
Musa dan tidak jadi membinasakan umat-Nya. Jadi,
bagaimana kalangan Injili ini mencocokkan pandangan mereka tentang
atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan dengan ajaran-ajaran
Kitab Suci seperti ini?
Sayangnya, mereka yang berpandangan liberal terlalu sering memandang referensi-referensi Biblika dari keterlibatan
Allah dengan ciptaan-Nya ini sebagai “penampakan” belaka. Dari sudut pandang
ini, Allah tidak benar-benar melibatkan diri-Nya dengan ciptaan-Nya. Ia hanya
memberi kesan kepada kita bahwa Ia melakukan hal itu. Tetapi jika kita memahami
atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan dalam cara yang
memperkecil kenyataan dari keterlibatan-Nya dengan ciptaan, berarti kita
menyangkali inti dari iman yang Alkitabiah.
Apa
yang lebih penting dalam Kitab Suci selain dari fakta bahwa Allah sepenuhnya
dan sungguh-sungguh terlibat dengan ciptaan-Nya yang terbatas, temporal dan
mudah berubah?
Apa
yang lebih penting bagi kita semua daripada realitas bahwa Allah berinteraksi
dengan kita?
Untuk
menghindari kesalahpahaman yang serius ini kita harus selalu merenungkan
lingkup sepenuhnya dari perspektif Biblika tentang atribut-atribut Allah yang
tidak dapat dikomunikasikan. Kita telah melihat bagaimana Kitab Suci menunjuk
kepada transendensi ilahi. Sekarang mari kita melihat bagaimana Kitab Suci juga
meneguhkan imanensi ilahi.
**
Imanensi Ilahi **
Secara
keseluruhan, “imanensi ilahi” mengacu pada kenyataan dari keterlibatan Allah
dengan ciptaan-Nya. Sebenarnya, Alkitab jauh lebih banyak berbicara tentang
keterlibatan Allah yang imanen di dalam dunia ketimbang tentang
transendensi-Nya. Kita melihat hal ini dalam begitu banyak cara Kitab Suci
mencatat manifestasi historis Allah.
Manifestasi
historis adalah cara Allah melibatkan diri-Nya sendiri dengan perkembangan
sejarah Biblika. Kitab Suci memberi kita banyak deskripsi tentang Allah, antara
lain yang mengungkapkan berbagai nama dan gelar-Nya; menampilkan amat banyak
metafora dan kiasan untuk Allah; dan mencatat sejumlah perbuatan-Nya. Dalam
beberapa hal, Kitab Suci berfokus pada manifestasi historis Allah dalam rentang
waktu yang pendek. Dalam hal-hal lain, Kitab Suci merefleksikan pengungkapan
historis-Nya selama rentang waktu yang panjang. Kitab Suci mengisahkan
aktifitas Allah di kediaman-Nya di surga dan di atas bumi. Kitab Suci
menyingkapkan berbagai hal tentang interaksi-Nya dengan dunia spiritual dan
dunia jasmani; dengan kelompok-kelompok besar umat dan dengan kepompok-kelompok
kecil; dengan keluarga-keluarga dan bahkan dengan individu-individu.
Patut
disayangkan bahwa ada orang-orang Kristen yang berniat baik namun salah
menafsirkan penekanan Alkitab atas imanensi ilahi. Mereka memandang interaksi
Allah dengan ciptaan-Nya sebagai penyangkalan terhadap transendensi ilahi-Nya.
Beberapa dari pandangan-pandangan ini lebih ekstrem dari yang lain. Tetapi,
dalam satu dan lain cara, mereka semua menekankan imanensi ilahi sedemikian
rupa hingga mereka menolak atribut-atribut Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan.
Contohnya,
mereka menyimpulkan bahwa Allah pastilah terbatas karena Ia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, mengutarakan kekesalan-Nya, dan tidak segera membasmi
kejahatan. Bahkan beberapa Teolog mengatakan bahwa Allah tidak kekal karena Ia
menunggu sebelum bertindak hingga setelah Ia menguji umat-Nya, Ia menawarkan
keselamatan, dan Ia mengancam dengan penghakiman. Mereka juga menyimpulkan
bahwa Allah dapat berubah karena Allah menjawab doa, mengurungkan niat-Nya, dan
merevisi prinsip-prinsip panduan. Pandangan-pandangan seperti ini menyangkali
realitas dari transendensi ilahi demi mendukung imanensi ilahi. Namun,
menyangkali bahwa Allah tidak terbatas, kekal dan tidak berubah dalam cara ini
juga sama dengan menyangkali iman yang Alkitabiah.
Bagaimana
kita bisa yakin bahwa keputusan Allah tidak akan gagal seandainya Allah
terbatas dalam kuasa-Nya?
Bagaimana
kita bisa yakin bahwa Kristus telah menjamin keselamatan kekal kita seandainya
Allah terpengaruh oleh waktu?
Bagaimana
kita bisa menegaskan bahwa janji-janji Allah dapat dipercaya seandainya Allah
dapat berubah?
Betapapun
pentingnya menegaskan imanensi Allah — keterlibatan-Nya sepenuhnya dalam
sejarah — kita juga harus menegaskan apa yang diajarkan Kitab Suci tentang
atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan.
Untuk
memahami atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan, kita harus
berpegang teguh pada lingkup yang sepenuhnya dari perspektif Biblika terkait
transendensi Allah dan imanensi-Nya. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena
kita segera akan mencapai batas kemampuan manusiawi kita untuk menembus
misteri-misteri Allah. Sebagaimana halnya dengan banyak subjek sulit lainnya
seperti Trinitas dan Dwi Natur Kristus, kita berhadapan dengan
kebenaran-kebenaran tentang Allah yang ada di luar jangkauan kita. Tetapi Kitab
Suci memanggil kita untuk memegang erat kedua hal ini, transendensi Allah dan
imanensi-Nya. Kita mendukung realitas penuh dari kesempurnaan Allah yang tidak
dapat dikomunikasikan dan realitas penuh dari keterlibatan Allah dengan
ciptaan-Nya.
Mazmur
Daud meringkas pandangan Biblika ini sebagai berikut:
Allah
kita di sorga; Ia melakukan apa yang dikehendaki-Nya (Mazmur 115:3).
Perhatikan
bagaimana ayat ini memandang transendensi Allah - kenyataan bahwa “Allah ada di
surga” - sebagai dasar yang karenanya kita bisa yakin bahwa “Ia melakukan apa
yang dikehendaki-Nya“ dalam ciptaan.
Meskipun
terkesan misterius, Allah tidak terbatas, tetapi ini bukan berarti bahwa Ia
tidak terlibat dengan yang terbatas. Dari sudut pandang Biblika, justru oleh
karena Allah tidak terbatas maka Ia dapat sepenuhnya masuk ke alam yang
terbatas kapan saja Ia menghendakinya.
Allah
itu kekal, tetapi ini bukan berarti bahwa Ia ada di luar waktu. Sebaliknya,
kekekalan-Nya adalah alasannya Ia dapat berpartisipasi di dalam waktu dengan
cara apa pun yang dikehendaki-Nya.
Allah
tidak berubah, tetapi ini bukan berarti bahwa Ia tidak hadir dalam alam
perubahan. Justru oleh karena Allah tidak berubah dalam segala kesempurnaan-Nya
maka Ia mengikutsertakan ciptaan-Nya yang berubah sebagaimana dikehendaki-Nya.
Dengan
demikian, kita harus memegang teguh pengajaran Biblika sepenuhnya tentang
transendensi Allah dan imanensi-Nya jika kita ingin meraih pengertian yang
benar tentang atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan.
Para Teolog bukan hanya berbicara
tentang transendensi Allah, betapa tinggi dan mulianya Dia, tetapi juga tentang
imanensi Allah, kedekatan kehadiran-Nya. Allah terlibat secara akrab dalam apa
yang terjadi di dunia dan Dia sangat dekat dengan kita. Dan kita melihat hal
ini jelas sekali dalam Yesus Kristus dan dalam inkarnasi-Nya, di mana Anak
Allah yang tidak kasatmata menjadi kasatmata dalam bentuk tubuh manusia dan
benar-benar masuk dalam situasi manusia kita. Saya berpendapat kita juga
melihat imanensi Allah dalam dekatnya kehadiran Allah Roh Kudus… Dan ini adalah
salah satu misteri dari keberadaan dan karakter Allah. Ia transenden, jauh
melampaui kita, namun sekaligus dekat pada kita dan akrab dengan kita. Ia juga
imanen.
— Dr. Philip Ryken
**
Integrasi **
Lazimnya
para Teolog dan Akademisi Kristen membedakan antara atribut-atribut Allah yang
tidak dapat dikomunikasikan dan yang dapat dikomunikasikan. Tetapi banyak orang
mempertanyakan apakah pembedaan ini memang ada gunanya. Kitab Suci tidak
memisahkan atribut-atribut ilahi ini dalam kelompok-kelompok. Bahkan, para penulis
Alkitab menganggap semua atribut ilahi saling berkaitan dengan erat. Jadi, jika
kita ingin tahu bagaimana Allah berbeda dari ciptaan-Nya, kita perlu melihat
bahwa Ia berbeda dari kita dalam semua atribut-Nya. Dengan kata lain, Allah
transenden, tidak ada bandingannya, bukan hanya dalam beberapa, tetapi dalam
setiap aspek dari esensi ilahi-Nya.
**
Dasar Biblika Tentang Simplisitas Allah **
Penyatuan
atribut-atribut Allah ini sesuai dengan doktrin Kristen yang sudah ada sejak
dahulu yaitu “simplisitas Allah.” Allah bukannya simple dalam arti bahwa
Ia mudah dimengerti. Ketika para Teolog berbicara tentang simplisitas Allah,
maksud mereka ialah bahwa esensi Allah bukan perpaduan dari berbagai hal;
esensi Allah tidak terbagi. Seperti yang dinyatakan oleh Augsburg Confession,
Allah itu “tanpa bagian-bagian”. Demikian juga Belgic Confession yang
menyatakan, Allah adalah “satu Keberadaan rohani yang tunggal.”
Doktrin simplisitas telah diperdebatkan
selama berabad-abad. Doktrin ini bukan berarti bahwa Allah tidak memiliki
kepribadian, pergerakan, dinamisme, atau karakteristik. Simple bukan dalam arti
bahwa Ia semacam keberadaan yang teoretis belaka tanpa atribut. Artinya, bila
dapat dikatakan demikian, Ia adalah satu macam keberadaan. Ia tidak menambahkan
apa pun di luar diri-Nya pada diri-Nya sendiri. Ia bukan susunan. Ia bukan
terdiri dari bagian-bagian yang ditambahkan seperti yang disangka beberapa Teolog.
Jadi, menurut Alkitab, Allah adalah roh. Definisi roh adalah keberadaan yang
simple, bukan susunan, tidak kompleks, tidak politeistis. Dan sekali lagi,
sebenarnya ini adalah doktrin yang sangat menguatkan bagi kita karena ini
berarti bahwa Allah kita murni; Ia bukan campuran dari hal-hal yang ditambahkan
ke dalam keberadaan-Nya atau yang disusun-Nya… Jadi, Ia bukannya simplistis
atau tidak mempunyai minat atau rasa ingin tahu atau kepribadian atau kasih
atau atribut-atribut. Keberadaan-Nya bukan penggabungan dari berbagai bagian.
Ia adalah murni Roh.
— Dr. William Edgar
Di
zaman Gereja mula-mula dan Abad Pertengahan, pengaruh filsafat Yunani pada Teolog
-Teolog Kristen yang terkemuka menyebabkan orang mudah menerima doktrin dari
simplisitas Allah. Pandangan Yunani tentang Allah menekankan kesatuan Allah
yang mutlak. Dan latar belakang ini membuat para penafsir Biblika sangat
memperhatikan tema ini dalam Kitab Suci. Tetapi di masa yang kemudian, ketika
pengaruh Yunani sudah memudar, sejumlah Teolog terkemuka meragukan bahwa Kitab
Suci mengajarkan simplisitas atau kesatuan dari esensi Allah. Jadi, penting
untuk menunjukkan dasar Biblika dari doktrin ini. Kata-kata Musa yang sangat
dikenal dalam Ulangan 6:4 sering kali dipergunakan untuk mendukung kepercayaan
dalam simplisitas Allah.
Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu
Allah kita, TUHAN itu esa! (Ulangan 6:4).
Penerjemah-penerjemah
modern menawarkan beberapa terjemahan alternatif: “Tuhan Allah kita itu satu
Tuhan”; “Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu satu”; atau “Tuhan itu Allah kita,
hanya Tuhan saja.”
Orang-orang
yang tidak melihat simplisitas Allah dalam ayat ini mengatakan bahwa ayat ini
menyerukan bangsa Israel untuk menyembah Tuhan saja, bukan allah lain. Namun,
terjemahan tradisional “Tuhan itu esa” menyiratkan kesatuan dari Allah sendiri.
Meskipun tatabahasa Ibrani mendukung kedua kemungkinan ini, ada alasan kuat
untuk beranggapan bahwa yang dimaksud Musa adalah yang terakhir ini.
Dalam
kitab Ulangan, Musa menyerukan agar bangsa Israel setia kepada Allah dan
berpaling dari semua allah lain. Kita tahu bahwa ada kalanya bangsa Israel tergoda
untuk murtad dengan menolak Tuhan sepenuhnya dan menyembah allah-allah
bangsa-bangsa lain. Namun yang lebih sering terjadi, bangsa Israel jatuh ke
dalam sinkretisme dan menggabungkan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik
dari bangsa-bangsa lain dan agama-agama lain dengan kepercayaan mereka sendiri.
Bangsa-bangsa lain ini merujuk kepada allah-allah mereka, seperti Baal,
Asytoret dan allah-allah lain, dalam bentuk jamak karena mereka percaya bahwa
allah-allah ini terbagi-bagi di berbagai tempat. Mereka mengakui allah-allah
ini dengan satu cara di satu tempat dan dengan cara lain di tempat lain.
Sebaliknya,
Musa berulang kali mengajar bangsa Israel bahwa Allah harus disembah hanya di
satu tempat yang ditetapkan Allah. Berbeda dengan allah-allah bangsa-bangsa
lain, Allah tidak dapat dibagi-bagi dalam bagian-bagian di antara satu tempat
dan tempat lain karena “Tuhan itu esa.” Jadi dalam arti ini, Ulangan 6:4
meletakkan dasar untuk doktrin Kristen dari simplisitas Allah, kenyataan bahwa
Allah tidak terbagi dalam bagian-bagian. Dalam terjemahan yang harfiah dari
Yakobus 2:19, Yakobus meneguhkan pengertian dari Ulangan 6:4 dengan mengatakan:
Engkau percaya, bahwa Allah itu satu;
itu baik (Yakobus 2:19, ESV).
Yakobus
tidak menulis, “Engkau percaya, bahwa ada satu Allah saja,” seperti yang
dikatakan dalam beberapa terjemahan. Ia menulis secara harfiah, “Engkau
percaya, bahwa Allah itu satu.” Dengan cara ini, Yakobus meneguhkan bahwa
Ulangan 6:4 mengajarkan keesaan, kesatuan, simplisitas dari Allah.
Doktrin
Biblika dari simplisitas ilahi besar implikasinya bagi Teologia proper.
Tetapi seperti kita lihat di sini, doktrin ini meneguhkan dasar Biblika untuk
menyelidiki integrasi dari atribut-atribut Allah. Kesempurnaan-kesempurnaan
Allah bukan bagian-bagian Allah yang berbeda. Semua kesempurnaan ini adalah
karakteristik yang saling berkaitan dan sepenuhnya menyatu, dari esensi-Nya
yang satu.
Sambil
mengingat dasar Biblika untuk integrasi dari atribut-atribut Allah ini, kita
akan melanjutkan dengan topik yang kedua: keanekaragaman Teologis dalam
cara-cara pendekatan kalangan Injili untuk mengintegrasikan
kesempurnaan-kesempurnaan Allah yang dapat dan yang tidak dapat
dikomunikasikan.
** Note **
Teologi
proper adalah studi tentang Allah dan sifat-sifat-Nya. Teologi proper berfokus
pada Allah Bapa. Paterologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yang
berarti 'bapa' dan 'perkataan' -- yang digabung sehingga berarti 'studi tentang
Sang Bapa'. Teologi proper menjawab beberapa pertanyaan penting tentang Allah:
Apakah
Allah benar-benar ada?
Apa
saja sifat-sifat Allah?
Apa
yang Alkitab ajarkan tentang Trinitas?
Apakah
Allah itu berdaulat, atau apakah kita memiliki kehendak bebas?
Teologi
proper mendiskusikan tentang kemahahadiran, kemahatahuan, kemahakuasaan, dan
kekekalan Allah. Ia mengajar kita tentang siapa Allah dan apa yang Dia lakukan.
Paterologi berfokus pada bagaimana Allah Bapa berbeda dari Allah Anak dan Allah
Roh Kudus. Hanya dengan mengenal siapa Allah dan apa yang Dia lakukan itulah
kita dapat terhubung dengan Dia secara tepat. Banyak orang memiliki persepsi
yang tidak alkitabiah tentang Allah yang memengaruhi bagaimana mereka memahami
Dia. Beberapa orang melihat Allah sebagai sesosok tiran yang brutal, tanpa
kasih ataupun karunia. Beberapa yang lain melihat Allah sebagai teman yang
penuh kasih, tanpa memiliki keadilan ataupun amarah. Kedua persepsi ini sama-sama
tidak benar. Allah itu penuh belas kasihan, kasih, dan karunia -- dan pada saat
yang bersamaan juga benar, kudus, dan adil. Allah memberikan belas kasihan dan
mengirimkan hukuman. Allah menghukum dosa dan mengampuni dosa. Allah akan
memberikan jalan masuk kepada orang percaya menuju surga dan kepada orang yang
tidak percaya menuju neraka. Teologi proper memberi kita pemahaman yang lebih
lengkap tentang siapa Allah dan apa yang Dia lakukan.
Roma
11:33 merupakan ayat ringkasan yang baik untuk menjelaskan teologi proper dan
paterologi: "Oh, alangkah dalamnya kekayaan dan kebijaksanaan dan
pengetahuan Allah! Betapa tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan tidak
terduga jalan-jalan-Nya!"
**
Keanekaragaman Teologis **
Telah
dibahas sebelumnya bahwa meskipun kalangan Injili dari Gereja Protestan Arus
Utama mempergunakan beragam istilah untuk menyimpulkan atribut-atribut Allah
yang tidak dapat dikomunikasikan, meskipun tetap ada kesatuan dalam banyak hal.
Augsburg
Confession menuliskan
tentang Allah sebagai Pribadi yang “Kekal, tanpa tubuh, tanpa bagian-bagian,
memiliki kuasa, hikmat, dan kebaikan yang tak terbatas.”
Telah
kita bahas sebelumnya bahwa istilah-istilah kekal, tanpa tubuh, tanpa
bagian-bagian dan tak terbatas sering kali diasosiasikan dengan atribut-atribut
Allah yang tidak dapat dikomunikasikan karena Ia berbeda dari ciptaan-Nya dalam
hal-hal ini. Ketiga istilah yang berikutnya, kuasa, hikmat, dan kebaikan,
biasanya diidentifikasi sebagai atribut-atribut yang dapat dikomunikasikan
karena kita dapat berbagi ciri-ciri ini dengan Allah sebatas skala makhluk yang
fana.
Tetapi
perhatikanlah bahwa Pengakuan ini tidak menganggap kelompok-kelompok ini
sebagai kelompok yang terpisah sepenuhnya satu dengan lain. Pengakuan ini bukan
hanya berbicara mengenai kuasa, hikmat dan kebaikan Allah, tetapi menambahkan
kata sifat “tak terbatas” — atau immensus dalam bahasa Latin. Tatabahasa dari
teks bahasa Latin ini mengindikasikan bahwa Allah tidak terbatas dalam
kuasa-Nya, tidak terbatas dalam hikmat-Nya, dan tidak terbatas dalam
kebaikan-Nya.
Maksudnya,
Augsburg Confession memandang melalui ketidakterbatasan Allah, melalui
fakta bahwa Ia tidak terhingga, dan memandang kuasa, hikmat dan kebaikan-Nya di
dalam terang dari ketidakterbatasan-Nya. Dan dengan melakukan hal itu,
Pengakuan ini mengakui bahwa atribut-atribut Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan tentang ketidakterbatasan harus diintegrasikan sepenuhnya
dengan atribut-atribut-Nya yang dapat dikomunikasikan.
Kita
dapat melihat keanekaragaman Teologis dalam pendekatan pada atribut-atribut
Allah dengan membandingkan apa yang baru saja kita lihat dalam Augsburg
Confession dengan Belgic Confession.
Belgic
Confession mengatakan
bahwa Allah itu: “Kekal, tidak dapat dipahami, tidak kasatmata, tidak
berubah, tidak terbatas, mahakuasa, bijaksana, adil, [dan] baik.”
Sering
kali istilah-istilah kekal, tidak dapat dipahami, tidak kasatmata, tidak
berubah dan tidak terbatas, diklasifikasikan sebagai atribut-atribut Allah yang
tidak dapat dikomunikasikan. Dan keempat istilah berikutnya lazimnya
diasosiasikan dengan atribut-atribut Allah yang dapat dikomunikasikan. Tetapi perhatikanlah
bahwa keempat atribut terahkir ini tidak hanya ditulis sebagai “mahakuasa,
bijaksana, adil dan baik.” Meskipun terjemahan baku Bahasa Inggris tidak
menunjukkan hal ini dengan jelas, bahasa aslinya yaitu Bahasa Perancis di sini
mempergunakan istilah-istilah “tout puissant,” yang berarti “berkuasa
sepenuhnya atau berkuasa mutlak,” dan “tout sage,” yang berarti
“sepenuhnya bijaksana.” Selain itu, kata sifat “tout” dapat diperluas
penerapannya pada “adil” dan “baik,” sehingga dapat diterjemahkan menjadi
“sepenuhnya adil” dan “sepenuhnya baik.”
Sama
halnya dengan Augsburg Confession, Belgic Confession memandang melalui
fakta bahwa Allah tidak terbatas dan memandang kuasa-Nya, hikmat, keadilan dan
kebaikan-Nya dalam terang dari ketidakterbatasan-Nya. Meskipun Belgic
Confession tidak mempergunakan kata-kata yang persis sama atau pembagian
yang sama seperti Augsburg Confession, kita dapat melihat kemiripan
keduanya.
Pertanyaan
4 dari Westminster Shorter Catechism dimulai dengan pernyataan bahwa: “Allah
adalah Roh.” Kemudian disebutkan tiga atribut yang tidak dapat dikomunikasikan
dari Allah sebagai Roh yang “tidak terbatas, kekal dan tidak berubah.”
Tetapi
supaya kita tidak memandang kesempurnaan-kesempurnaan yang tidak dapat
dikomunikasikan ini secara terpisah, Westminster menjelaskan bahwa ketiga hal
tentang Allah ini benar: “dalam keberadaan-Nya, hikmat, kuasa, kekudusan,
keadilan, kebaikan dan kebenaran-Nya.”
Strategi
Westminster Catechism untuk mengintegrasikan atribut-atribut Allah
memberikan banyak keuntungan. Pertama, di sini digunakan tiga kategori besar
untuk merangkum atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan.
Bagaimana Allah berbeda dari ciptaan-Nya? Ia “tidak terbatas, kekal dan tidak
berubah.” Kemudian Katekismus menjawab pertanyaan bagaimana Allah itu tidak
terbatas, kekal dan tidak berubah dengan memandang melalui ketiga jendela ini,
atau atribut-atribut, kepada atribut-atribut-Nya yang dapat dikomunikasikan.
Allah tidak terbatas “dalam keberadaan-Nya, hikmat, kuasa, kekudusan, keadilan,
kebaikan dan kebenaran-Nya.” Allah kekal “dalam keberadaan-Nya, hikmat, kuasa,
kekudusan, keadilan, kebaikan dan kebenaran-Nya.” Allah tidak berubah “dalam
keberadaan-Nya, hikmat, kuasa, kekudusan, keadilan, kebaikan dan
kebenaran-Nya.” Dengan demikian, Westminster Shorter Catechism memberikan cara
yang sistematik untuk menyelidiki integrasi sepenuhnya dari atribut-atribut
Allah yang tidak dapat dikomunikasikan dengan kesempurnaan-kesempurnaan-Nya
yang dapat dikomunikasikan.
**
Perspektif Biblika Tentang Atribut Allah **
Kitab
Suci telah menunjukkan kepada kita dengan begitu banyak cara sehingga kita
hanya dapat mengamati beberapa dari perspektif Biblika tentang ini. Namun inti
persoalannya ialah: Apabila kita merenungkan sepenuhnya apa yang diajarkan
Alkitab, akan semakin jelas bahwa semua atribut Allah, bukan hanya beberapa,
tidak dapat dikomunikasikan. Westminster Shorter Catechism menyusun hal
ini secara sistematik dengan menyatakan bahwa Allah tidak terbatas, kekal dan
tidak berubah dalam setiap atribut yang dapat dikomunikasikan yang dikenalinya.
Untuk
melihat luasnya perspektif Biblika tentang integrasi atribut-atribut Allah,
kita akan membahas tujuh atribut yang dapat dikomunikasikan yang tertulis dalam
Katekismus, dimulai dengan keberadaan atau eksistensi Allah.
Keberadaan
Dalam
banyak hal, keberadaan atau eksistensi Allah adalah atribut yang dapat
dikomunikasikan, atau dibagikan dengan ciptaan Allah. Kita tahu bahwa segala
sesuatu yang diciptakan Allah, termasuk manusia, benar-benar ada. Namun kita
gagal memahami kemuliaan dari eksistensi Allah jika kita tidak mengakui adanya
perbedaan fundamental di antara keberadaan Allah dan keberadaan diri kita.
Keberadaan kita terbatas, temporal dan dapat berubah, sedangkan keberadaan
Allah tidak terbatas, kekal dan tidak berubah.
Di
dalam Teologia Sistematika, perbedaan di antara keberadaan Allah dan
ciptaan-Nya sering kali ditekankan dalam dua hal utama. Para Teolog dan
Akademisi Sistematika merujuk kepada “kebesaran” Allah dan “kemahahadiran-Nya.”
Di
satu sisi, kebesaran Allah adalah eksistensi-Nya yang tak terbatas, kekal dan
tidak berubah, melampaui segenap ciptaan. Dalam 1 Raja-raja 8:27, ketika Salomo
menahbiskan Bait Suci, ia menegaskan sebuah pernyataan Teologis yang besar,
yang mendasari segala sesuatu dalam Kitab Suci. Ia mengatakan, “Sesungguhnya
… langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat [Allah].”
Allah berbeda dari ciptaan-Nya karena eksistensi-Nya sama sekali tidak terbatas
pada alam dari ciptaan-Nya. Ia sudah ada sebelum ada ciptaan, Ia ada sekarang
dengan tidak terbatas, dan Ia akan terus ada melampaui semua ciptaan untuk
selama-lamanya.
Di
sisi lain, kemahahadiran Allah dapat didefinisikan sebagai eksistensi-Nya di
mana-mana di dalam ciptaan. Para Teolog dan Akademisi Sistematika menegaskan
bahwa keberadaan Allah ada di semua tempat, berbeda dengan ciri yang mana pun
dari ciptaan yang terbatas, tergantung waktu, dan dapat berubah. Allah
berfirman dalam Yeremia 23:24, “Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi?”
Kepercayaan pada kemahahadiran Allah begitu mendasar bagi iman yang sesuai
dengan Alkitab sehingga dalam Kisah Para Rasul 17:28 Paulus sependapat dengan
pujangga-pujangga Yunani bahwa “Di dalam [Allah] kita hidup, kita bergerak,
kita ada.” Sejumlah ayat lain, misalnya Mazmur 139:7-10; Yesaya 66:1; dan
Kisah 7:48-49, juga menyinggung kemahahadiran Allah.
Satu ayat klasik yang menjadi dasar dari
doktrin kemahahadiran Allah adalah Kisah Para Rasul 17:24-28 di mana Paulus
berbicara di Atena dan terheran-heran karena Allah sanggup menjangkau
bangsa-bangsa bukan Yahudi yang menyembah berhala ini. Jadi, sebagian dari
penjelasannya adalah bahwa Allah bukan hanya Allah orang Yahudi; Allah adalah
Allah bagi semua orang di mana-mana, di seluruh bumi. Kemudian pembicaraannya
seakan-akan mencakup seluruh alam semesta, seluruh kosmos. Dan ia
mengutarakan pernyataan ini tentang Allah: Allah tidak pernah jauh dari kita
masing-masing, baik penyembah berhala maupun orang percaya Yahudi…
Sesungguhnya, Dialah Allah yang di dalamnya kita hidup, kita bergerak dan kita
ada. Artinya, Dia ada di mana-mana… Ayat lain yang berpadu dan menyatu dengan
Kisah 17:24-28 adalah Yeremia 23:23-24 di mana ditekankan bahwa Anda tidak
dapat melarikan diri dari Allah. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Anda dapat
berlari tetapi tidak dapat bersembunyi. Dan Yeremia mengatakan bahwa hal itu
dikarenakan Allah memenuhi segenap bumi.
— Dr. R. Todd Mangum
Hikmat
Selain
dari keberadaan Allah, Shorter Catechism juga menegaskan bahwa hikmat
Allah tidak terbatas, kekal dan tidak berubah.
Dalam
banyak hal, hikmat adalah salah satu atribut Allah yang dapat dikomunikasikan,
di dalamnya makhluk-makhluk Allah yang rasional mendapat bagian. Namun seberapa
pun besarnya hikmat yang kita miliki, Kitab Suci dan wahyu umum menunjukkan
dengan jelas bahwa hikmat kita terbatas, temporal dan dapat berubah. Jadi,
salah satu segi di mana Allah berbeda dari ciptaan-Nya adalah karena hikmat-Nya
tak terbatas, kekal dan tidak berubah.
Para
Teolog dan Akademisi Sistematika Tradisional lazimnya menekankan dimensi yang
tidak dapat dikomunikasikan dari hikmat Allah dengan mengacu kepada
kemahatahuan Allah dan kemisteriusan-Nya yang tidak dapat dipahami.
Kemahatahuan
Allah adalah kenyataan bahwa Allah memiliki pengetahuan dari segala sesuatu.
Ayub 37:16 menyebut tentang “Yang Mahatahu.” Ibrani 4:13 mengatakan “tidak
ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya.” Dan Mazmur 33:15
mengatakan “[Allah] memperhatikan” — atau mengerti — “segala pekerjaan
[manusia].” Banyak ayat lain yang mengilustrasikan kemahatahuan Allah
dengan menunjukkan hal-hal yang diketahui Allah yang tidak kita ketahui.
Sebagai contoh, dalam Yeremia 23:24, Allah bertanya, “Sekiranya ada
seseorang menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak
melihat dia?”
Ciri-ciri
hikmat Allah yang tidak dapat dikomunikasikan juga ditekankan dalam doktrin
tentang kenyataan bahwa Allah tidak dapat dipahami. Istilah ini bukan
menyiratkan bahwa kita tidak dapat mengetahui sesuatu pun tentang pikiran
Allah. Sebaliknya, kita mengetahui bagian-bagian dari pemikiran-Nya yang
dinyatakan-Nya kepada kita. Tetapi hikmat Allah tidak dapat dikomunikasikan
dalam arti bahwa pemikiran Allah tidak dapat kita ketahui sepenuhnya. Seperti
dikatakan Paulus dalam Roma 11:33, keputusan-keputusan dan jalan-jalan Allah
“tak terselidiki … dan tak terselami.” Ayub 11:7 mengatakan bahwa kita tidak
dapat “memahami hakekat Allah.” Mazmur 139:6 menyatakan, “pengetahuan
[Allah] … terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.” Ayat-ayat yang
serupa seperti 1 Samuel 16:7; 1 Tawarikh 28:9; Mazmur 139:1-4; and Yeremia
17:10 juga mengindikasikan bahwa salah satu hal di mana Allah berbeda dari
ciptaan-Nya ialah hikmat-Nya yang tidak terbatas, kekal dan tidak berubah.
Hikmat Allah adalah pemikiran-pemikiran
transenden, pemikiran yang dimiliki Allah, yang ada di dalam Allah, yang ingin
dibagikan-Nya dengan kita. Dan sebenarnya, apabila kita berpikir dalam kaitan
dengan transenden, itulah macam kehidupan yang Ia ingin kita jalankan. Namun
ini terlalu jauh di atas kita. Hanya oleh anugerah Allah kita mendapat
kesempatan untuk mencapai taraf kehidupan seperti itu… Kita memerlukan
pemikiran-pemikiran Allah yang transenden ini, dan kemudian, tentu saja kita
perlu Roh Kudus-Nya untuk berdiam di dalam kita supaya kita hidup dengan cara
itu, berpikir dengan cara itu, dan kemudian mengomunikasikan kepada orang-orang
lain, “inilah jalan hikmat.”
— Dr. Matt Friedeman
Kuasa
Yang
ketiga, Allah bukan hanya tidak terbatas, kekal dan tidak berubah dalam
keberadaan dan hikmat-Nya, tetapi juga dalam kuasa-Nya.
Kitab
Suci maupun wahyu umum mengindikasikan bahwa dalam banyak hal, kuasa Allah
merupakan atribut yang dapat dikomunikasikan karena kuasa adalah kualitas yang
dibagikan pada ciptaan. Namun kuasa yang terbesar pun dalam ciptaan tetaplah
terbatas, temporal dan dapat berubah. Jadi, Kitab Suci mengajarkan dengan jelas
bahwa kuasa Allah tidak dapat dikomunikasikan. Kontras di antara kuasa Allah
dan kuasa ciptaan ini sering kali diekspresikan dalam Teolog ia sistematika
dalam istilah-istilah “kemahakuasaan” Allah dan “kedaulatan” Allah.
Di
satu sisi, ketika kita berbicara tentang kemahakuasaan Allah, kita maksudkan
kuasa Allah tak terbatas. Contohnya, dalam Ayub 42:2, Ayub menyatakan, “Engkau
sanggup melakukan segala sesuatu.” Mazmur 115:3 mengatakan bahwa “[Allah]
melakukan apa yang dikehendaki-Nya!” Yeremia 32:17 memuji Allah dengan
mengatakan “Tiada suatu apa pun yang mustahil untuk-Mu!” Dan dalam
Matius 19:26 Yesus meyakinkan murid-murid-Nya bahwa “bagi Allah segala
sesuatu mungkin.”
Nah,
jangan kita lupa menambahkan satu kualifikasi yang penting di sini: kuasa Allah
selalu sesuai dengan atribut-atribut-Nya yang lain. Ia tidak dapat melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan kesempurnaan yang lain dari esensi-Nya.
Misalnya, Kitab Suci menyatakan secara eksplisit beberapa hal yang tidak dapat
dilakukan Allah. Dalam ayat-ayat seperti Bilangan 23:19; 1 Samuel 15:29; 2 Timotius
2:13; Ibrani 6:18; dan Yakobus 1:13, 17, kita belajar bahwa Allah tidak dapat
berdusta, berdosa, berubah, ataupun menyangkali diri-Nya sendiri. Jika kita
selalu mengingat kualifikasi ini, kita yakin bahwa Allah mahakuasa, dalam arti
bahwa kuasa-Nya tidak terbatas, kekal dan tidak berubah.
Ayat-ayat dalam Alkitab yang tampaknya
mengindikasikan bahwa ada beberapa hal yang tidak dapat dilakukan Allah,
sebenarnya tidak berbicara tentang makna sejati dari kemahakuasaan Allah… Ia
hanya bisa melakukan hal yang konsisten dengan natur-Nya. Berdusta sama sekali
tidak konsisten dengan natur ilahi-Nya. Jadi ada beberapa hal yang Allah tidak
dapat lakukan, tetapi ini sepenuhnya sesuai dengan alam dari natur-Nya.
— Rev. Clete Hux
Di
sisi lain, para Teolog dan Akademisi Sistematika menunjuk kepada ciri-ciri
kuasa Allah yang tidak terbatas, kekal dan tidak berubah, sebagai “kedaulatan
Allah.” Dengan kata lain, kedaulatan Allah adalah penguasaan-Nya yang mutlak
atas ciptaan.
Beberapa
aliran Gereja saling berbeda pendapat terkait bagaimana tepatnya Allah
menerapkan penguasaan-Nya yang mutlak atas ciptaan, namun Kitab Suci mengajar
bahwa Allah memiliki kuasa yang tidak terbatas, kekal dan tidak berubah untuk
mengendalikan segala sesuatu. Raja Yosafat menyatakan dalam 2 Tawarikh 20:6, “Kuasa
dan keperkasaan ada di dalam tangan-Mu, sehingga tidak ada orang yang dapat
bertahan melawan Engkau.” Atau seperti dikatakan Ayub dalam 42:2, “tidak
ada rencana-Mu yang gagal.” Dalam Daniel 4:35, bahkan Raja Nebukadnezar pun
mengakui bahwa Allah “berbuat menurut kehendak-Nya terhadap bala tentara
langit dan penduduk bumi.” Menurut Efesus 1:11, kedaulatan Allah begitu
luas sehingga Ia “di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan
kehendak-Nya.” Dan Roma 8:28 meyakinkan kita akan kedaulatan Allah, juga di
waktu pencobaan-pencobaan yang berat karena “Allah turut bekerja dalam
segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.”
Ayat-ayat ini dan tak terhitung banyaknya ayat-ayat lain, dengan jelas
mengindikasikan bahwa kedaulatan Allah tidak terbatas, kekal dan tidak berubah.
Kekudusan
Selain
membahas keberadaan Allah, hikmat dan kuasa-Nya, Westminster Shorter Catechism
juga menekankan bahwa Allah tidak terbatas, kekal dan tidak berubah dalam
kekudusan-Nya.
Dalam
banyak hal, kekudusan merupakan atribut Allah yang dapat dikomunikasikan karena
dibagikan pada beberapa aspek dari ciptaan. Kitab Suci sering kali merujuk pada
lokasi, objek-objek, roh-roh dan manusia yang dikatakan kudus. Dan kata-kata
sifat Biblika yang biasanya kita terjemahkan “kudus,” “suci” atau “dikuduskan”
— qadosh (קָדוֹשׁ) dalam bahasa Ibrani, dan hagios (ἅγιος) dalam
bahasa Yunani — berarti “terpisah” atau “dipisahkan.” Tetapi baik wahyu umum
maupun Kitab Suci menyatakan dengan jelas bahwa kekudusan makhluk fana itu
terbatas, temporal dan dapat berubah, sedangkan kekudusan Allah tidak terbatas,
kekal dan tidak berubah.
Para
Teolog dan Akademisi sering kali melakukan pendekatan pada ciri-ciri kekudusan
Allah yang tidak dapat dikomunikasikan dengan memerhatikan kekudusan moral
Allah. Mereka juga menyoroti apa yang bisa disebut keagungan kekudusan-Nya.
Di
satu sisi, kekudusan moral Allah mengacu pada kenyataan bahwa Ia terpisah dari
segala kejahatan. Mazmur 92:16 berbunyi, “tidak ada kecurangan pada-Nya.”
Dan Habakuk 1:12-13 mengatakan, “Yang Mahakudus … Mata-Mu terlalu
suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman.”
Kemurnian moral Allah begitu mendasar bagi iman Kristiani yang Alkitabiah sehingga
Yakobus menulis dengan tegas dalam Yakobus 1:13, “Allah tidak dapat dicobai
oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.”
Di
sisi lain, Kitab Suci juga menunjuk kepada apa yang disebut keagungan kekudusan
Allah. Istilah ini mengindikasikan bahwa Allah terpisah dari semua ciptaan,
termasuk makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang murni secara moral.
Perbedaan antara kekudusan moral Allah
dan kekudusan ontologis [keberadaan] atau keagungan kekudusan-Nya, dapat
dikatakan berasal dari gagasan lama yaitu arti kata “kudus,” dan ini pada
dasarnya berarti, “dipisahkan dari.” Dan ada dua hal yang darinya Allah
dipisahkan. Yang pertama, Ia dipisahkan dari orang-orang berdosa. Ia murni; Ia
tidak pernah berdosa; Ia benar sepenuhnya, dan karena itu Ia terpisah dari
orang-orang berdosa dalam hal itu — sempurna secara moral, murni, kudus, dalam
arti itu. Tetapi ada hal kedua di mana Allah juga kudus, yaitu, Ia lebih tinggi
dari kita; Ia berbeda dari kita; Ia mempunyai natur dan status ontologis yang
berbeda — keberadaaan yang lebih tinggi — dan dalam hal itu Ia juga kudus.
Jalan-jalan-Nya dan rancangan-rancangan-Nya jauh lebih tinggi dari jalan-jalan
dan rancangan-rancangan kita. Jadi, Allah itu kudus, artinya, dipisahkan, dalam
keberadaan-Nya dan dalam kebenaran karakter-Nya.
Rev. Dan Hendley
Keagungan
kekudusan Allah diilustrasikan dengan sangat jelas dalam Yesaya 6:3 di mana
para serafim berseru:
Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta
alam (Yesaya 6:3).
Dalam
ayat ini, serafim, makhluk-makhluk yang murni moralnya yang melayani di hadapan
takhta Allah, mengakui dengan tiga kali seruan kudus bahwa Allah harus disembah
karena kekudusan-Nya yang tertinggi dan mutlak. Ekspresi-ekspresi serupa
tentang keagungan kekudusan Allah didapati dalam ayat-ayat seperti Keluaran
15:11; 1 Samuel 2:2; Yesaya 57:15; and Hosea 11:9.
Keadilan
Allah
bukan hanya tidak terbatas, kekal dan tidak berubah dalam keberadaan, hikmat,
kuasa dan kekudusan-Nya, tetapi kualitas yang tidak dapat dikomunikasikan ini
juga merupakan ciri-ciri keadilan-Nya.
Dalam
banyak hal, baik wahyu umum maupun khusus mengindikasikan bahwa keadilan adalah
atribut yang dapat dikomunikasikan karena makhluk moral, khususnya manusia,
juga bisa adil dan benar. Konsep keadilan Allah sering kali diekspresikan oleh
istilah-istilah bahasa Ibrani yang berkaitan dengan kata tsaddiq (צַדִּיק),
dan dengan istilah-istilah bahasa Yunani yang berkaitan dengan istilah dikaiosuné
(δικαιοσύνη). Lazimnya istilah-istilah ini diterjemahkan sebagai “kebenaran”
atau “keadilan.” Tetapi kebenaran dan keadilan manusia terbatas, temporal dan
dapat berubah, sedangkan kebenaran atau keadilan Allah tidak terbatas, kekal
dan tidak berubah.
Atribut
keadilan Allah ini dalam Kitab Suci paling sering diasosiasikan dengan
penghakiman di pengadilan surgawi. Dikatakan dalam 1 Petrus 1:17 bahwa kita
mempunyai seorang Bapa yang “tanpa memandang muka menghakimi semua orang
menurut perbuatannya.” Menurut Roma 2:5-6, dalam “hukuman Allah yang
adil … Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya.” Dan karena
penghakiman Allah selalu benar, dalam Roma 9:14, Paulus bertanya, “Apakah
Allah tidak adil?” dan jawabannya tegas, “Mustahil!” Musa mengatakan
dalam Ulangan 32:4, “Segala jalan-Nya adil … adil dan benar Dia.” Jadi,
tidak heran jika dalam Yohanes 17:25, Yesus menyebut Bapa surgawi-Nya, “Bapa
yang adil” — atau “benar.”
Para
Teolog dan Akademisi Sistimatika menyorot keadilan Allah dengan berfokus pada
dua bidang utama: pahala Allah yang adil dan hukuman-Nya yang adil.
Di
satu sisi, natur Allah adalah mengaruniakan pahala yang sepatutnya untuk
kebenaran. Mazmur 58:12 berbunyi, “ada pahala bagi orang benar … [karena] …
ada Allah yang memberi keadilan di bumi.” Dan Paulus merujuk kepada
kebenaran yang diterima setiap orang yang dibenarkan di dalam Kristus ketika ia
berbicara dalam 2 Timotius 4:8 tentang “mahkota kebenaran yang akan
dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil … kepada semua orang yang
merindukan kedatangan-Nya.” Ada kalanya seolah-olah tidak ada pahala untuk
kebenaran. Tetapi kita boleh yakin akan pahala Allah yang adil sebab Allah
tetap tidak terbatas, kekal dan tidak berubah dalam keadilan-Nya.
Di
sisi lain, natur Allah adalah menjatuhkan hukuman yang setimpal atas kejahatan.
Dalam 2 Tesalonika 1:6-8, Paulus menegaskan bahwa “Allah itu adil … Ia akan
mengadakan pembalasan terhadap mereka yang tidak mau mengenal Allah dan tidak
mentaati Injil Yesus, Tuhan kita” [NIV]. Dan dalam Kisah Para Rasul 17:31
Paulus menganjurkan pertobatan karena “[Allah] telah menetapkan suatu hari,
pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah
ditentukan-Nya.” Sesungguhnya, penghukuman Allah yang adil atas dosa adalah
tiang utama dari iman yang alkitabiah. Paulus menjelaskan dalam Roma 3:26 bahwa
Allah itu “benar dan juga membenarkan” karena penebusan dosa yang dilakukan
Kristus telah memenuhi tuntutan keadilan bagi semua orang yang percaya. Ayat-ayat
ini dan banyak ayat lain menunjukkan bahwa keadilan Allah yang tidak terbatas,
kekal dan tidak berubah, diwujudkan dalam penghukuman-Nya yang adil.
Kebaikan
Setelah
berbicara tentang keberadaan Allah, hikmat, kuasa, kekudusan dan keadilan-Nya, Shorter
Catechism merujuk kepada kebaikan Allah.
Dalam
banyak hal, kebaikan merupakan atribut yang dapat dikomunikasikan karena Kitab
Suci sering kali mengatakan bahwa ciptaan itu baik. Dalam Kejadian 1:31, Allah
melihat pada ciptaan-Nya dan berkata bahwa itu “sungguh amat baik.” Dan
Paulus meneguhkan pernyataan ilahi ini dalam 1 Timotius 4:4. Dalam istilah
umum, tov (טוֹב) dalam bahasa Ibrani dan agathos (ἀγαθός) dalam bahasa
Yunani, mengindikasikan persetujuan dari seseorang atau sesuatu. Jadi, banyak
aspek dari ciptaan dapat dideskripsikan sebagai “baik.” Namun tentu saja,
kebaikan ciptaan ini terbatas, temporal dan dapat berubah. Sebaliknya, kebaikan
Allah tidak terbatas, kekal dan tidak berubah.
Ketika
Kitab Suci mengatakan Allah itu “baik,” maksudnya Ia layak dipuji secara tidak
terbatas, kekal dan tidak berubah. Perlu kita tambahkan bahwa tidak ada takaran
kebaikan yang harus dipenuhi oleh Allah di luar diri-Nya sendiri. Allah sendiri
adalah definisi dari kebaikan. Sebagaimana dikatakan dalam artikel pertama dari
Belgic Confession, Allah itu “baik, dan sumber segala kebaikan yang
melimpah.”
Dalam
Teologia sistematika, kebaikan Allah terkait erat dengan beberapa pengajaran Biblika
yang akrab di telinga kita. Untuk memudahkan kita akan memandangnya dalam dua
kategori utama: kebaikan Allah secara langsung dan kebaikan Allah secara tidak
langsung.
Di
satu sisi, apabila kita berbicara tentang kebaikan Allah secara langsung, yang
ada dalam benak kita adalah kebaikan Allah yang ditunjukkan dalam hal-hal seperti
perbuatan baik Allah, kemurahan-Nya, kasih dan kesabaran-Nya terhadap makhluk
ciptaan-Nya. Contohnya, Mazmur 34:9 berbicara tentang perbuatan baik Allah
sebagai bukti dari kebaikan-Nya dengan mengatakan, “Kecaplah dan lihatlah,
betapa baiknya TUHAN itu!” Kebaikan Allah diasosiasikan dengan rahmat dan
belas kasihan-Nya dalam Keluaran 33:19 di mana Allah berfirman kepada Musa, “Aku
akan melewatkan segenap kebaikan-Ku di depanmu … Aku akan memberi rahmat kepada
siapa yang Kuberi rahmat dan mengasihani siapa yang Kukasihani” [NIV].
Mazmur 25:7 berbicara tentang kasih Allah yang melimpah dari kebaikan-Nya
sebagai berikut, “ingatlah kepadaku sesuai dengan kasih setia-Mu, oleh
karena kebaikan-Mu, ya TUHAN.”
Ayat-ayat
lain seperti Mazmur 23:6; Mazmur 73:1; Mazmur 145:9, 15-16; dan Markus 10:18
juga menunjuk kepada berbagai macam kebaikan Allah. Tetapi perwujudan yang
paling langsung dari kebaikan Allah yang tidak terbatas, kekal dan tidak
berubah, adalah kasih-Nya yang kekal bagi Kristus dan bagi setiap orang yang
ada di dalam Kristus. Paulus mengatakan:
Dalam kasih Ia telah menentukan kita
dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan
kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang
dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya (Efesus 1:4-6).
Konteks
yang lebih luas dari ayat ini menunjukkan bahwa pengangkatan kita sebagai anak
dilakukan dalam kasih, kasih Allah bagi kita sejak sebelum dunia dijadikan. Dan
kasih kekal Allah bagi umat-Nya ini adalah di dalam Kristus, di dalam Dia yang
dikasihi-Nya. Kasih Allah bagi mereka yang ada di dalam Kristus berakar dalam
kasih Bapa yang tidak terbatas, kekal dan tidak berubah bagi Anak-Nya.
Alkitab banyak menceritakan tentang
kasih Allah bagi kita. Allah mengasihi kita dalam banyak cara, dan Ia
menunjukkan kasih-Nya bagi kita dalam banyak cara. Tetapi Alkitab mengatakan
bahwa perwujudan kasih Allah yang terbesar dan pasti kepada kita
ditunjukkan-Nya dengan cara mengutus Anak-Nya yang tunggal kepada kita. Yohanes
3:16 mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia
telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal.” Jadi kasih Allah diperlihatkan
paling jelas ketika Ia memberikan Anak-Nya kepada dunia untuk menyelamatkan
dunia. Tetapi jangan kita berhenti di sini karena kasih Allah diperlihatkan
dalam apa yang Dia perintahkan untuk dilakukan Anak-Nya bagi kita. Anak-Nya
datang untuk menjadi korban bagi dosa-dosa kita. Sebenarnya, bukan kita yang
telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah
mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita… Jadi hal ini sangat
membesarkan hati kita. Bahkan, Paulus melanjutkan tema ini dalam Roma 8 dan
memberi semangat pada kita dengan kata-kata ini, “Ia, yang tidak menyayangkan
Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah
mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan
Dia?” Jadi, Allah dengan cara yang tertinggi dan terbesar telah menunjukkan
kepada kita betapa Dia mengasihi kita dengan memberikan Anak-Nya. Karena itu
kita harus percaya kepada-Nya dan yakin bahwa Ia benar-benar mengasihi kita.
— Dr. Brandon D. Crowe
Di
sisi yang lain, Kitab Suci juga menunjuk kepada ciri-ciri kebaikan Allah yang
tidak terbatas, kekal dan tidak berubah dengan berfokus pada kebaikan Allah
yang tidak langsung. Yang kita maksudkan di sini adalah keyakinan bahwa Allah
akan membawa kebaikan meskipun melalui kesukaran-kesukaran dan
pencobaan-pencobaan yang mendera ciptaan-Nya untuk sementara waktu. Salah satu
tantangan terbesar dari kepercayaan dalam kebaikan Allah adalah hadirnya
kejahatan dalam ciptaan-Nya. Tetapi para penulis Alkitab menegaskan bahwa
kesempurnaan dari kebaikan Allah akan menghasilkan kebaikan dari kejahatan.
Contohnya, Yakobus 1:17 mengatakan pada kita bahwa pencobaan yang berat itu
adalah demi kebaikan kita karena, “Setiap pemberian yang baik dan setiap
anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang.”
Dan Paulus meyakinkan orang-orang Kristen di Roma dalam Roma 8:28, “Kita
tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk
mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.”
Kebenaran
Setelah
membicarakan perspektif Biblika terkait keberadaan Allah, hikmat, kuasa,
kekudusan, keadilan dan kebaikan-Nya, kini kita sampai pada kebenaran Allah.
Ini adalah yang terakhir dari atribut-atribut Allah yang dapat dikomunikasikan
yang disebutkan dalam Westminster Shorter Catechism.
Alkitab
maupun wahyu umum menunjukkan dengan jelas bahwa dalam banyak hal, kebenaran
merupakan atribut yang dapat dikomunikasikan. Makhluk-makhluk ciptaan Allah
yang berakal budi dan berakhlak baik juga bisa berbuat benar, jujur, dapat
diandalkan dan setia. Konsep dari kebenaran Allah berasal dari istilah-istilah
bahasa Ibrani yang berkaitan dengan kata kerja aman (אָמַן), yang sering
kali diterjemahkan “sudah pasti,” “diteguhkan” atau “benar,” dan dari istilah
yang terkenal chesed (חֶסֶד) yang sering kali diterjemahkan “kesetiaan”
atau “kasih setia.” Konsep ini juga berasal dari istilah-istilah bahasa Yunani
dari Perjanjian Baru yang berkaitan dengan alétheia (ἀλήθεια) dan pistis
(πίστις). Istilah-istilah Biblika ini mengindikasikan sesuatu yang benar,
kebenaran yang dapat diandalkan dan kesetiaan. Makhluk-makhluk ciptaan Allah
dapat menunjukkan ciri-ciri ini, tetapi hanya secara terbatas, temporal dan
dapat berubah. Sebaliknya, kebenaran Allah tidak terbatas, kekal dan tidak
berubah. Paulus merenungkan kualitas kebenaran Allah yang tidak ada
bandingannya dalam Roma 3:4 dengan mengatakan:
Allah adalah benar, dan semua manusia
pembohong (Roma 3:4).
Pada
umumnya para Teolog dan Akademisi Sistematika menyoroti atribut Allah ini dalam
dua hal utama. Allah adalah sumber kebenaran yang setia, dan Ia setia pada
janji-janji-Nya.
Di
satu sisi, Allah ditinggikan sebagai sumber kebenaran yang setia. Dalam Mazmur
119:43, Pemazmur menyebut Kitab Suci sebagai “firman kebenaran” Allah. Dalam
Mazmur yang sama ini dalam ayat 142, ia menegaskan dengan yakin, “Taurat-Mu
benar.” Mazmur 25:5 adalah sebuah doa kepada Allah “Bawalah aku berjalan
dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku.” Dalam Yohanes 8:32, Yesus menjelaskan
kepada murid-murid-Nya bahwa jika mereka berpegang pada ajaran-Nya maka mereka
akan “mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan [mereka].”
Dalam Yohanes 16:13, Kristus berjanji pada rasul-rasul-Nya bahwa “Roh
Kebenaran … akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran.” Dan dalam
Yohanes 17:17, Yesus berdoa kepada Bapa, “Kuduskanlah mereka dalam
kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.” Dalam cara-cara ini dan cara-cara
lain, Kitab Suci menunjukkan dengan jelas bahwa ketika Allah mengungkapkan
kebenaran, kebenaran ini dapat dipercaya sepenuhnya karena natur Allah adalah
setia dan benar.
Di
sisi lain, Allah juga benar atau setia pada janji-janji-Nya secara tidak
terbatas, kekal dan tidak berubah. Allah dapat dipercaya bahwa Ia akan
menggenapi semua janji-Nya. Nah, kita harus berhati-hati di sini. Sering kali
dalam Kitab Suci sesuatu yang tampaknya seperti sebuah janji dari Allah,
sebenarnya merupakan tawaran atau ancaman dari Allah dengan persyaratan yang
terkandung di dalamnya. Jika persyaratan yang tersirat ini tidak dipenuhi,
tawaran atau ancaman Allah tidak akan digenapi. Tetapi Paulus menulis dalam
Titus 1:2, “Allah … tidak berdusta.” Jika Allah membuat janji, Ia akan
menggenapinya. Bilangan 23:19; Mazmur 33:4; Ibrani 6:18 dan banyak ayat lain
menunjukkan bahwa Allah dengan setia menggenapi semua janji-Nya. Jadi tidak
heran jika Wahyu 3:14 memperkenalkan Kristus yang ditinggikan sebagai, “Saksi
yang setia dan benar, penguasa atas ciptaan Allah” [NIV].
Westminster
Shorter Catechism telah
memberi kita sekilas pandang ke dalam luasnya perspektif Biblika yang harus
kita perhatikan sementara kita mempelajari kesempurnaan Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan. Telah kita lihat bahwa Kitab Suci tidak menampilkan Allah yang
tidak terbatas, kekal dan tidak berubah hanya dalam beberapa hal, tetapi dalam
setiap hal. Setiap aspek dari esensi-Nya tidak ada bandingannya. Dan dalam arti
ini, setiap atribut Allah adalah atribut yang tidak dapat dikomunikasikan.
**
Kesimpulan **
Kita
telah menyelidiki bagaimana Allah berbeda dari ciptaan-Nya dalam dua hal utama.
Pertama, kita belajar untuk mengenali atribut-atribut Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan. Kita meneliti dasar Biblika untuk mengenali
kesempurnaan-kesempurnaan-Nya, keanekaragaman Teologis di kalangan Injili dalam
bidang ini dan luasnya perspektif Biblika yang diperlukan untuk mengidentifikasi
atribut-atribut ini. Kita juga menyelidiki integrasi dari atribut-atribut Allah
yang tidak dapat dikomunikasikan dengan semua kesempurnaan Allah yang lain
dengan mengamati dasar Biblika, keanekaragaman Teologis di kalangan Injili, dan
lingkup perspektif Biblika yang harus kita pertimbangkan sementara kita
menyelidiki semua ini.
Sering
kali pengikut-pengikut Kristus tidak menyadari pentingnya untuk berpikir dengan
hati-hati terkait atribut-atribut Allah yang tidak dapat dikomunikasikan.
Tetapi kepercayaan kita tentang hal-hal di mana Allah berbeda dari ciptaan-Nya
begitu penting bagi iman Kristen sehingga berdampak pada semua doktrin,
kebiasaan dan sikap kita. Banyak tiang penyangga doktrin Kristen yang bertumpu
pada pengertian yang benar dari kesempurnaan Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan. Kegiatan kita sehari-hari juga dipandu oleh
kebenaran-kebenaran ini. Dan sikap hati kita seperti kerendahan hati,
keyakinan, sukacita dan penyembahan di hadapan Allah, sangat dipengaruhi oleh
apa yang kita percayai tentang aspek Teologia proper ini. Memahami apa yang
diajarkan Kitab Suci mengenai atribut-atribut Allah yang tidak dapat
dikomunikasikan ini memperlengkapi kita untuk setiap dimensi dari pelayanan
yang setia di dalam Kristus.
Sumber
kutipan
- Rev.
Dr. Thurman Williams (Host) is Associate Pastor at Grace and Peace Fellowship
in St. Louis, Missouri. Dr. Williams earned his M.Div. at Chesapeake
Theological Seminary and his D.Min. at Covenant Theological Seminary. Before
joining Grace and Peace Fellowship, Dr. Williams was Senior Pastor of New Song
Community Church in Baltimore, MD. He also served as Minister of Outreach and
Youth at Faith Christian Fellowship Church and was Co-Area Director with Young
Life.
- Vincent
Bacote, Ph.D. is Associate Professor of Theology and Director of the Center for
Applied Christian Ethics at Wheaton College & Graduate School.
- Dr.
Brandon D. Crowe is Assistant Professor of New Testament at Westminster
Theological Seminary.
- Dr.
William Edgar is Professor of Apologetics at Westminster Theological Seminary.
- Dr.
Matt Friedeman is Professor of Evangelism and Discipleship at Wesley Biblical
Seminary.
- Rev.
Dan Hendley is Senior Pastor of North Park Church in Wexford, PA.
- Rev.
Clete Hux is Director and Counter-Cult Apologist at Apologetics Resource Center
in Birmingham, AL.
- Dr.
Richard Lints is Professor of Theology and Vice President for Academic Affairs
at Gordon-Conwell Theological Seminary.
- Dr.
R. Todd Mangum is Professor of Theology and Academic Dean at Biblical
Theological Seminary.
- Dr.
Josh Moody is Senior Pastor at College Church in Wheaton, IL.
- Dr.
Jeffery Moore served at Trinity Downtown Orlando as Senior Pastor from 2003 to
2014.
- Rev.
Dr. Paul R. Raabe is Professor of Exegetical Theology at Concordia Seminary.
- Dr.
Philip Ryken is President of Wheaton College.
- Dr.
Tim Sansbury is Assistant Professor of Philosophy and Theology and Vice President
of Administration at Knox Theological Seminary.