Sejarah Gereja mengungkapkan kepada kita bahwa dalam setiap masa dan zaman, (selalu) bermunculan bidat demi bidat, yang jika kita perhatikan, penyebab utamanya adalah adanya oknum tokoh Gereja yang lebih menitikberatkan atau mementingkan suatu pengajaran (baca: doktrin) melampaui doktrin lain, mengabaikan keharmonisan dan integrasi suatu doktrin dengan doktrin lain. Salah satu contoh, Marcionisme (abad 2-7 m) — yang didirikan oleh Marcion — yang mengatakan bahwa Allah Perjanjian Lama lebih rendah daripada Allah Perjanjian Baru karena Perjanjian Lama tidak selaras dengan ajaran Kristus. Allah Perjanjian Lama hanyalah demiurge[1] sedangkan Allah Perjanjian Barulah Allah yang sejati, yang tertinggi. Beberapa pemikiran dari paham ini — seperti pengontrasan yang berlebihan antara hukum (Taurat) dan Injil — masih “terwariskan” sampai hari ini.[2] Kita dapat menemukan sebagian orang Kristen zaman ini yang memisahkan secara ekstrem Taurat dan Injil lebih dari apa yang Paulus sendiri ajarkan.
Sejak Perjanjian Baru dan zaman Gereja mula-mula yang mengungkapkan kesaksian-kesaksian tentang siapakah Yesus Kristus, dilanjutkan oleh Bapa-bapa Gereja, semuanya secara terus-menerus menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah (seutuhnya) Allah yang sekaligus (seutuhnya) manusia. Dan bahwa inkarnasi tidak mengurangi keilahian-Nya sebagai Anak Allah ataupun menjadikan-Nya sebagai manusia super (superman). Sebagai contoh, Justin Martyr, apologet Kristen abad ke-2 yang menegaskan diperanakkannya Kristus oleh Bapa dan inkarnasi-Nya menjadi manusia melalui (seorang) perawan.[3] Juga Melito dari Sardis yang menegaskan keilahian sekaligus kemanusiaan Kristus dengan mengungkapkan fakta-fakta tentang Kristus secara paradoksikal (di antaranya, hamba sekaligus Anak, berada di rahim Maria sekaligus senatur dengan Bapa, berada di bumi sekaligus di sorga, bertubuh jasmani sekaligus tak terbatas keilahian-Nya, sebagai manusia yang membutuhkan makanan sekaligus Allah yang memelihara seluruh alam semesta).[4] Ironisnya, bidat-bidat awal muncul menyerang ajaran sehat (ortodoks) sejak Gereja mula-mula, khususnya dalam Kristologi, padahal Bapa-bapa Gereja pun percaya bahwa kesatuan keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus adalah prasyarat mutlak dan hal yang penting untuk menggenapi keselamatan umat manusia. Ada yang menyangkal kemanusiaan seutuhnya Yesus karena mereka percaya bahwa Yesus adalah roh adanya dan Ia hanya tampak/kelihatan seperti manusia saja (bidat ini dikenal sebagai Docetisme).[5] Di sisi lain, ada juga bidat yang mengajarkan sebaliknya, yaitu menyangkal inkarnasi Allah menjadi manusia. Bagi mereka, Yesus hanyalah seorang manusia biasa yang di dalam diri-Nya hadirat dan kuasa Allah berkarya dengan begitu hebatnya (dikenal sebagai Ebionisme).[6]
Kemudian ada bidat yang menerima keilahian dan kemanusiaan Kristus, namun menganggap bahwa keilahian-Nya itu tidaklah penuh/utuh, yaitu Arianisme. Bidat ini didirikan oleh Arius, yang percaya bahwa Allah itu satu adanya dan hanya satu, tidak pernah keberadaan-Nya berbagian/terbagi dengan (pribadi) yang lain. Namun Allah yang kekal dan tak-memperanakkan ini menciptakan seorang Anak. Maka Sang Anak adalah yang diciptakan. Arius memaparkan bahwa “Allah telah memperanakkan satu-satunya Anak yang diperanakkan sebelum masa kekekalan…. Ia menjadikan-Nya ada berdasarkan kehendak-Nya sendiri, tak dapat berubah dan berganti. Ia adalah ciptaan Allah yang sempurna, namun tidak seperti ciptaan yang lain; Ia adalah keturunan yang sempurna, namun tidak seperti yang diperanakkan yang lain…. Seturut kehendak Allah, Ia diciptakan sebelum segala masa dan zaman, dan mendapatkan hidup dan keberadaan-Nya dari Sang Bapa.”[7] Meskipun Arius menegaskan keunikan Yesus Kristus sebagai Anak, namun ia menyatakan bahwa Anak adalah yang diciptakan. Dengan demikian, ada suatu masa ketika Anak tidak (baca: belum) ada, “… being created and founded before ages, did not exist before his generation,”[8] ungkapnya. Oleh sebab itu bagi Arius, Anak adalah (Pribadi yang) tidak kekal, tidak saling-kekal (co-eternal), atau tidak saling-tak-bermuasal (co-unoriginate) dengan Bapa[9] dan Anak memiliki natur (baca: substansi) yang berbeda dengan Bapa. Implikasi ini sesuai dengan keyakinannya bahwa Allah adalah hanya satu adanya dan tak-berbagi. Dan sebagaimana bidat-bidat lain, ia pun mencari dasar “alkitabiah” untuk mendukung keyakinannya ini, di antaranya dari Yohanes 14:28 (“… for the Father is greater than I”) dan Kolose 1:15 (“the firstborn of all creation”).[10]
Pandangan Arius tersebut membuat Kaisar Constantine I khawatir, karena isu theologis seperti ini dapat berisiko memecah belah kekaisarannya. Maka pada tahun 325 ia menginisiasikan pelaksanaan konsili (yang dikenal sebagai Konsili Nicea I) yang dihadiri oleh para uskup yang diutus dari gereja-gereja yang berada di wilayah kekuasaan Romawi, di mana agenda utamanya adalah membahas dan memutuskan untuk mencapai konsensus dalam masalah natur (yaitu substansi) Anak dan relasi-Nya dengan Allah Bapa, yang pada dasarnya merupakan isu tentang (Allah) Tritunggal. Dalam konsili ini dihadiri oleh tiga macam kelompok peserta, yaitu pihak pro-Arian, pihak anti-Arian (kedua belah pihak ini masing-masing sedikit jumlahnya), dan sebagian besar peserta yang tidak berpihak. Akhirnya, konsili ini mengakui bahwa keilahian Anak adalah penuh dan utuh, sekaligus juga memutuskan untuk mengutuk beberapa hal yang dipercaya oleh kaum Arianisme sebagai bidat. Dan hasil dari konsili ini diformulasikan dalam bentuk Pengakuan Iman (Kredo) Nicea (The Creed of Nicea). Sebagian besar dari para peserta bersedia menandatangani kredo ini. Di antara lebih dari 300 peserta, hanya dua orang saja yang menolak untuk menandatanganinya. Maka, Arius diasingkan dengan peringatan agar menghentikan ajaran dan pandangannya yang sesat tersebut. Dengan demikian, Gereja dapat berjalan dengan doktrin yang teguh tentang keilahian yang sejati dari Anak Allah.[11] Patut kita camkan bahwa Konsili Nicea tidak menciptakan doktrin keilahian Kristus — seperti yang diduga oleh sebagian kalangan, termasuk kaum Arianis — namun menegaskan kembali apa yang telah dipercayai dan dipegang oleh umat Tuhan sebagai warisan Gereja sejak para rasul Perjanjian Baru.[12]
Dalam hal ini, salah satu dari Bapa-bapa Gereja, yaitu Athanasius dari Alexandria berjuang dengan gigih mempertahankan doktrin yang sehat melawan ajaran yang coba menyangkal dan menggugurkannya. Ia lebih dikenal sebagai Athanasius yang kadang kala dijuluki sebagai St. Athanasius the Great. Lahir di Alexandria, Mesir, menjelang pergantian abad ketiga menuju abad keempat, sekitar tahun 295.[13] Menjabat sebagai seorang Uskup Alexandria yang ke-20 (pada abad ke-4) selama 45 tahun, namun sepertiga masa jabatannya ia mengalami pembuangan yang diperintahkan oleh beberapa kaisar Romawi karena perjuangannya mempertahankan ajaran dan iman yang ortodoks[14] yang telah diwariskan sejak para rasul.[15] Ia adalah seorang theolog terkenal sekaligus apologet yang mempertahankan doktrin Tritunggal dan inkarnasi Firman menjadi manusia melawan Arianisme. Apologianya yang begitu sengit dan respected, baik oleh kawan maupun lawan, membuatnya dijuluki “Athanasius melawan dunia bagi dunia” (Lat. Athanasius contra mundum).
Athanasius menentang bidat ini dengan begitu gigih, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar masa pelayanannya dihabiskan untuk mempertahankan dan membela Kristologi ortodoks melawan Arianisme, terutama mengenai kesetaraan Anak dan Bapa, serta inkarnasi Anak menjadi manusia. Kegigihan dan sikapnya yang tidak mau berkompromi terhadap segala ajaran yang mendukung Arianisme — termasuk jika harus “melawan” para kaisar Romawi pada saat itu — membuatnya dijuluki sebagai “santo yang keras kepala”. Perjuangannya begitu berat, pada saat ia mulai menjabat sebagai Uskup Alexandria, pada saat yang sama Constantine mulai berganti haluan mendukung Arius. Hal ini disebabkan sang kaisar mengalami tekanan para uskup yang diam-diam bersimpati pada Arius. Constantine memulihkan kembali Arius ke dalam jabatannya sebagai imam (presbyter) di Alexandria serta memerintahkan Athanasius untuk menerimanya kembali. Athanasius menolaknya kecuali Arius mengiyakan satu kata — yaitu homoousios[16]— sebagai pernyataan relasi antara Bapa dan Anak. Karena Arius menolak maka Athanasius pun menolaknya serta mengabaikan perintah dan ancaman kaisar. Singkatnya, Athanasius pun dilucuti dari jabatannya dan dibuang ke kota paling Barat dari Kekaisaran Romawi, yaitu Trier, Jerman. Kisah ini tidak berhenti di sini. Selanjutnya dapat dilihat bahwa pengganti Constantine — yaitu anaknya, Constantius — yang pada awalnya memulangkan dan memulihkan Athanasius kembali sebagai Uskup Alexandria, di kemudian hari relasi mereka menjadi buruk. Sang kaisar baru yang menginginkan perdamaian dan keseragaman dalam agama (yaitu gereja) dan di bawah paksaan ayahnya, mengganti kata homoousios dalam Kredo Nicea menjadi homoiousios yang artinya “substansi yang mirip” (“of a similar substance”) yang waktu itu diterima baik termasuk oleh banyak dari kalangan yang memegang (doktrin) Tritunggal. Dalam hal ini, Athanasius menolak keras dan menggolongkan mereka (juga) sebagai bidat dan menyejajarkan mereka sebagai antikristus.[17] Polemik dan perseteruan yang rumit di antara mereka terus berlangsung episode demi episode. Kemungkinan dalam pembuangannya ke Trier, Athanasius menulis On the Incarnation of the Word, yang kemudian menjadi karya klasik Kristen yang agung yang ditulisnya sebagai Bapa Gereja abad permulaan, yang berisi apologianya dalam Kristologi, yang mengungkapkan signifikansi inkarnasi Allah menjadi manusia demi keselamatan manusia dan menekankan[18] keilahian Yesus Kristus. Bukunya ini mengungkapkan pula refleksi secara eksegesis nas-nas Alkitab yang berkaitan dengan Kristus dan keilahian-Nya, serta relasi antar-Pribadi Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Tujuannya jelas, yaitu mencelikkan (dan menegaskan) bahwa Anak adalah diperanakkan, bukan diciptakan. Tulisannya yang lain, yang juga merupakan karya klasik Kristen yang agung, sekaligus lebih direct menghadapi Arianisme adalah Against the Arians, yang merupakan karya polemisnya melawan kaum Arian sekaligus semi-Arian.[19] Athanasius meninggal di Alexandria pada tahun 373, di mana tujuh tahun terakhir masa hidupnya ia jalani dengan damai dan tenang. Meskipun Valens, kaisar Romawi saat itu, adalah pendukung penuh Arianisme dan pernah membuangnya sekali, namun kemudian mengizinkannya untuk pulang. Setelah akhir hidupnya — di mana dia tidak pernah mengenyam buah perjuangannya selama hidupnya — kaisar yang baru, Theodosius,[20] menjadi seorang pendukung penuh iman ortodoks dan Trinitarian yang diperjuangkan (dan dimenangkan) oleh Athanasius dan sahabat-sahabatnya. Theodosius memerintahkan dilaksanakannya Konsili kedua di Constantinople (yaitu Konsili Contantinople), dengan agenda dan tujuan untuk menegaskan kembali Kredo Nicea, di mana pada akhirnya ditetapkan sebagai pengakuan iman universal bagi seluruh umat Kristen.[21]
Dari sekelumit kisah Athanasius dan perjuangannya membela iman di atas, paling tidak kita dapat mempelajari, pertama, bahwa “hanya” karena perbedaan satu kata “saja” (atau bahkan satu huruf saja) dalam Kredo Nicea — yaitu antara homoousios dan homoiousios—yang memiliki bunyi yang mirip namun memiliki arti yang sangat berbeda, maka terjadi perbedaan (baca: pertentangan) yang begitu tajam antara dua paham (baca: doktrin), yang meminjam ungkapan dari Olson yang mengatakan, “… is the difference between the divine and the creaturely”.[22]
Kedua, meskipun acap kali diabaikan — yaitu dengan sedikit banyak mengenal karakter atau kepribadian pendirinya. Dengan mempelajari karakter/kepribadiannya akan membantu kita memperoleh gambaran seperti, mengapa dapat muncul ajaran semacam itu, mengapa ajaran semacam itu dapat berkembang secara luas, bahkan pesat, dan mendapat dukungan langsung maupun tak langsung dari pihak penguasa (baik penguasa/tokoh politik maupun gereja). Arius adalah seorang yang berpenampilan asketis, bermoral murni, dan berpendirian teguh. Carroll, seorang sejarawan Katolik, mengatakan bahwa ia adalah seorang yang santun dalam berbicara, para wanita memujanya karena terpesona dengan sikap anggunnya dan penampilan asketisnya, orang-orang terkesan dengan kehebatan intelektualnya.[23] Karakter seperti ini sedikit banyak membuat kebanyakan orang “terlena” serta tidak menyikapi secara kritis apa yang dia ajarkan. Apalagi konteks bergereja saat itu, masih kental dengan dikotomi (yang wujudnya berupa separasi) kaum pejabat gereja (yaitu para imam atau pekerja gereja) dengan kaum awam, yang tampak dari dimonopolinya Alkitab, penafsiran Alkitab, dan pengajaran (doktrin) oleh kaum imam, sedangkan kaum awam berada pada posisi hanya menerima dan menelan apa yang disajikan oleh pejabat gereja. Sehingga tidak heran bahwa — meskipun bidat — ajaran yang melawan salah satu ajaran yang paling krusial dari rasul-rasul dan Bapa-bapa Gereja ini dapat berkembang di Kekaisaran Romawi yang membuat Constantine mau tidak mau segera mengadakan Konsili untuk membendung (dan menghentikan) pengaruhnya yang dapat merusak keutuhan kekaisarannya (meskipun tentu dengan menggunakan alasan gerejawi). Hal ini mengajarkan (serta memperingatkan) kepada kita salah satu prinsip yang dikumandangkan oleh para Reformator untuk kembali kepada (hanya) firman/Alkitab saja (dikenal sebagai sola Scriptura) sebagai satu-satunya tolok ukur iman dan kehidupan kaum pilihan, bukan pada kehebatan dan nalar manusiawi yang mempesona yang — sering kali — membutakan hati untuk kembali kepada kebenaran (baca: firman). Kita harus kritis dan berhati-hati menghadapi berbagai macam pengajaran, karena sering kali bidat-bidat menyelubungi diri di balik argumentasi-argumentasi yang (terdengar) logis dan mirip dengan ajaran yang benar, ditambah dengan pesona pribadi sang tokoh/pendirinya. Faktor-faktor ini sangat mungkin dapat mengaburkan pertimbangan nalar kita.
Terakhir, kita perlu meneladani spirit dan perjuangan Athanasius yang dengan gigih dan tanpa kompromi membela kesejatian iman dan doktrin yang ortodoks. Khususnya di dalam zaman kita, di mana kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang subjektif, relatif, dan kontekstual. Meskipun dianggap kaku, kontroversial, tidak bersedia untuk harmonis, eksklusif, dan seterusnya, namun apakah kita lebih mementingkan persaudaraan dengan “saudara seiman” di mana mereka — sadar ataupun tidak — sedang melawan kebenaran sejati atau kesetiaan kita hanya kita berikan kepada Allah dan firman-Nya...?
Mari kita melihat bagaimana Athanasius bukan semata-mata menghadapi serangan Arianisme sebagai musuh utama gereja, namun ia pun mengalami manipulasi (sekaligus ”penganiayaan”) dari beberapa penguasa Romawi saat itu. Hidupnya, pelayanannya, perjuangannya begitu berat, meskipun demikian ia tetap setia dan tidak kompromi.
Boleh dikatakan bahwa pada hari ini Saksi Yehova bukanlah salah satu bentuk kekristenan ortodoks, bukanlah sesuatu yang berlebihan.[24] Tanpa perjuangannya yang gigih seperti itu — tentunya dengan tidak melupakan kedaulatan dan pengaturan Allah atas sejarah dan Gereja-Nya — bukan tidak mungkin hari ini Saksi Yehova (juga bidat-bidat lain, baik yang sejenis maupun berbeda jenis) akan terhitung sebagai (representasi) kekristenan yang ortodoks dan sebaliknya kita (dan kekristenan ortodoks dan Injili lain) dikecam dan dikutuk sebagai bidat. Kita patut bersyukur kepada Allah karena pemeliharaan-Nya kepada gereja sepanjang masa dan berterima kasih kepada Athanasius yang dengan penuh keberanian memberikan teladan memperjuangkan kebenaran sejati dengan setia dan tanpa kompromi.
Endnotes:
[1] Yaitu sosok ilah “pencipta” dan “pemelihara” alam semesta. Marcionism sebagai salah satu bentuk Gnosticism, percaya bahwa demiurge adalah ilah, tetapi ia adalah ilah (jenis) yang jahat, karena ia mencipta alam semesta yang material, yang jahat menurut pemahaman gnostik (bdk. http://en.wikipedia.org/wiki/Demiurge diakses pada 14 Juni 2012).
[2] William Edgar dan K. Scott Oliphint (para editor), Christian Apologetics Past and Present: A Primary Source Reader, vol. I, To 1500 (Wheaton: Crossway Books, 2009), 86.
[3] Gregg R. Allison, Historical Theology: An Introduction to Christian Doctrine (Grand Rapids: Zondervan, 2011), 367; dikutip dari Justin Martyr, Dialogue with Trypho, a Jew, 105, dalam Alexander Roberts, James Donaldson, Philip Schaff, dan Henry Wace (para editor), Ante-Nicene Fathers, 10 vol. (Peabody: Hendrickson, 1994), 1:251.
[4] Allison, 367; dikutip dari Melito dari Sardis, From the Discourse on the Cross, dalam Ante-Nicene Fathers, 8:756.
[5] Allison, 366.
[6] Allison, 367.
[7] Allison, 368-69; dikutip dari Arius, Letter to Alexander, dalam Alexander Roberts, James Donaldson, Philip Schaff, dan Henry Wace (para editor), Nicene-and Post-Nicene Fathers (NPNF), 14 vol. (Peabody: Hendrickson, 1994), 4:458.
[8] Allison, 369; dikutip dari Letter to Alexander, dalam NPNF, 4:458.
[9] Allison, 369; dikutip dari Letter to Alexander, dalam NPNF, 4:458.
[10] http://en.wikipedia.org/wiki/Arius#cite_note-Carroll_a-7 diakses pada 22 Juni 2012. Kutipan-kutipan Alkitab diambil dari terjemahan English Standard Version (ESV).
[11] Allison, 369-71.
[12] Bdk. http://en.wikipedia.org/wiki/First_Council_of_Nicaea diakses pada 22 Juni 2012.
[13] Edgar dan Oliphint, 173.
[14] Dimengerti sebagai norma-norma atau kredo-kredo yang diakui/diterima. Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Orthodoxy diakses 18 Juni 2012.
[15] Roger E. Olson, The Story of Christian Theology (Downers Grove: IVP, 1999), 161.
[16] Yun. homo = Ing. “same”; Yun. ousia = Ing. “essence, being.” Yun. homoousios = Ing. “same essence/being” = “sama esensi/keberadaan.” Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Homoousios diakses pada 23 Juni 2012.
[17] Olson, 161-64.
[18] Tentunya dalam konteks melawan Arianisme dan tidak dipahami sebagai mementingkan suatu aspek dan mengabaikan yang lain. Karena seperti diuraikan di awal artikel bahwa ketidakseimbangan penekanan menjadi bibit lahirnya bidat dalam Gereja.
[19] Olson, 167.
[20] Dianggap/diakui sebagai seorang santo oleh Gereja Ortodoks Timur. Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Theodosius_I diakses pada 23 Juni 2012.
[21] Olson, 167.
[22] Olson, 165.
[23] http://en.wikipedia.org/wiki/Arius#cite_note-Carroll_a-7diakses pada 22 Juni 2012; dikutip dari Warren H. Carroll, A History of Christendom, vol. 2 (Christendom Press, 2004), 10.
[24] Lih. Olson, 161-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar