16 Oktober 2021

Tradisi Makanan Halal - Haram Dalam Kekristenan

Bolehkah umat Kristen makan daging babi atau daging hewan laut yang tidak bersisik dan bersirip?

Bukankah Hukum Taurat menyatakan itu haram (Imamat 11:7,10 TB)?

Bagaimana dengan pernyataan Yesus yang disimpulkan oleh penulis Injil Markus bahwa Dia menyatakan semua makanan halal (Markus 7:19)?

Rasul Paulus bahkan membahas khusus tentang persoalan makanan halal-haram dalam beberapa surat diantaranya bagi Jemaat Kristen di Roma, Korintus dan Kolose.

Kepada Timotius, dia menuliskan:

Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran. Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur. (1 Timotius 4:3-4 TB)

Persoalan Jemaat Kristen mula-mula pun salah satunya adalah soal makanan dimana denominasi Kristen Yahudi memaksa denominasi Kristen Non Yahudi supaya menerima Hukum Musa tentang sunat dan makanan supaya diselamatkan (Kisah Para Rasul 15:1,5 TB).

Sepertinya memang disepanjang abad kehidupan Kekristenan, perihal makanan halal-haram akan selalu menjadi topik perdebatan Teologis setelah sunat, persepuluhan dan baptisan.

  • Mungkinkah kita berfikir bahwa dosa itu ada yang bersifat kultural atau memang universal?
  • Bagaimana seandainya dosa-dosa yang bersifat kultural itu dinilai baik oleh orang-orang Kristen di wilayah yang berbeda?
  • Bagaimana mana dengan sebagian Gereja yang mengajarkan dan menetapkan ada dosa kecil dan ada dosa besar?

Jika Kitab Suci dengan tegas menyatakan "Jangan berbohong/mengucapkan saksi dusta", bagaimana dengan umat Kristen lain yang membenarkan tindakan berbohong demi kebaikan bersama (a white lie)?

Membicarakan mendiskusikan hal diatas dalam akan memakan waktu panjang namun marilah kita akui bersama bahwa orang Kristen menghadapi tantangan unik, terombang-ambing di antara adat/kebiasaan yang saling bertentangan.

Pada satu sisi, orang Kristen sering mengikuti tata laku tertentu tanpa mempertanyakan dan menjunjung tinggi perilaku tertentu demi kesejahteraan komunitas Kristen maupun dunia secara umum. Pada sisi lain, perbedaan kultur dunia Barat dan Timur sering menjadi dinding pembatas yang berakhir pada perdebatan Teologis untuk sesuatu yang sederhana dan sama sekali tidak berkaitan dengan keselamatan.

Boleh atau tidak meminum Alkohol keduanya mendapat dukungan dari Kitab Suci yang tentu saja dapat menjadi jurang pemisah antar Gereja jika tidak memahami tradisi setempat dengan baik dan benar sehingga kompromi (dalam makna yang positif) untuk meredakan ketegangan menjadi jalan akhir untuk menyelesaikan hal itu.

Kekristenan di Indonesia pun mengalami pergolakan yang sama, misalnya antara boleh atau tidak merokok (meskipun ada beberapa Gereja yang mengizinkan pelayan Firman-Nya merokok selama hal itu tidak dilakukan dilingkungan sekitar Gereja) dan jika seseorang berhenti dari merokok maka itu dianggap sudah terbebas dari dosa.

Saya memiliki pengalaman pribadi soal rokok, hidup dan besar dalam Keluarga yang berasal dari dunia medis membuat orang tua Saya memandang rokok adalah dosa; bagi sebagian Kristen yang lain yang mengatakan bahwa merokok adalah perbuatan dosa yang mencemarkan Bait Allah.

Namun Saya menjawab mereka, "Setiap orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah".

Perdebatan selesai dan Saya menjadi pemenang lewat pembenaran; ini bukan contoh yang baik. Namun Saya percaya, orang tua dan keluarga Saya pasti selalu berdoa supaya suatu saat nanti Saya berhenti merokok.

Kembali ke persoalan makanan halal dan haram, kebanyakan orang di dunia mempunyai definisi yang luas tentang apa yang dapat dimakan menurut budaya.  Kita mungkin salah mengerti pentingnya makan bersama dalam Kitab Suci kalau kita tidak mengerti adat budaya yang kuat berkenaan dengan makanan.

Kita dapat dengan mudah mengalihkan penilaian kita tentang makanan kepada orang-orang yang memakannya. Menilik tradisi sebagian bangsa di Indonesia semisal bangsa Dayak, Batak atau Minahasa yang punya "kebiasaan" memakan segala hewan yang bisa dimakan semisal kera atau tikus (meskipun Saya tidak memakan keduanya karena jijik).

Orang Kristen di Amerika mungkin bertanya, "Bagaimana mungkin orang, apalagi orang Kristen, memakan seekor kera atau tikus?".

Ironisnya, mereka (Orang Indonesia yang Saya sebutkan diatas) mungkin juga bertanya kepada orang Amerika, "Bukankah keju itu dibuat basi sampai asam dan mengental lalu mengeras? Bukankah sosis itu dibuat dari seluruh tubuh hewan yang diproses sedemikian rupa hingga menjadi segumpal daging? Anda mengkonsumsi makanan yang tidak layak dimakan."

Meskipun ada akhirnya mereka tetap duduk bersama dengan rukun jika sedang menyantap daging babi yang sudah diolah dan dimasak sedemikian rupa.

Secara pribadi, kita akan menganggap bahwa penglihatan Petrus dalam Kisah Para Rasul 10 adalah suatu perumpamaan atau kiasan tentang perubahan dalam hukum soal makanan, suatu pelajaran yang memiliki esensi Teologis/Doktrinal.

Hal itu memang sedikit ada benarnya terlebih penulis Injil Markus menyimpulkan bahwa Yesus (menurut pemahaman yang diterima Petrus dan dicatat oleh Markus) sudah menghalalkan semua jenis makanan dalam Markus 7:19.

Namun, kita tidak boleh mengabaikan satu fakta bahwa ada sesuatu yang penting yang terjadi disitu karena Lukas sengaja membahas situasi itu secara penuh dalam 2 pasal.

Sebanyak tiga kali dalam penglihatan Petrus, selembar kain penuh dengan binatang haram diturunkan dari langit dan Allah memerintahkan, "Sembelihlah dan makanlah". Jawab Petrus, "Tidak, Tuhan, tidak ... Aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir" (Kisah Para Rasul 10:13-14).

Petrus adalah orang yang baik dan taat pada Hukum Taurat, bahkan Allah pun tidak bisa membuatnya mengkompromikan prinsip moralnya soal makanan. Mungkin saja, reaksi Petrus soal makanan itu bukan hanya soal kenajisan melainkan merasa jijik ketika harus mengkonsumsi hewan-hewan haram itu.

Larangan soal memakan daging babi hanyalah soal hukum bagi Kita (Kristen non Yahudi) namun tidak demikian bagi orang Yahudi, itu adalah tradisi yang sudah mengakar soal makanan, ribuan tahun perintah itu diturunkan dan diajarkan dari generasi ke generasi.

Perintah Tuhan soal makanan mungkin menimbulkan perasaan yang sama bagi orang Barat jika dihadapkan pada selembar kain yang penuh dengan daging anak anjing dan kelelawar.

"Sembelihlah dan makanlah", kata Tuhan.

Seperti Petrus, mereka akan menjawab, "Tidak Tuhan, tidak... "

Ketika Kitab Suci membahas makanan, hal itu lebih sering berkaitan dengan hubungan sosial dan persekutuan.

Rasul Paulus mengajarkan, "Kalau aku mengucap syukur atas apa yang aku turut memakannya, mengapa orang berkata jahat tentang aku karena makanan, yang atasnya aku mengucap syukur?"

Ketika Jemaat Kristen mula-mula mencoba memutuskan sesuatu apakah Jemaat Kristen Non Yahudi seharusnya mentaati Hukum Taurat tentang makanan, mereka bukan hanya berselisih tentang doktrin. Sama seperti kita, orang-orang mengalihkan perasaan mereka terhadap makanan tertentu kepada orang yang memakannya. Membayangkan teman (Jemaat Kristen Non Yahudi) seiman mereka melahap daging babi sudah cukup membuat mereka (Jemaat Kristen Yahudi) muntah.

Hal yang demikian pun sering terjadi di lingkungan Kekristenan (Saat ini Jemaat Kristen Non Yahudi sudah menjadi mayoritas); ketika seorang Petobat baru disajikan makanan-makanan haram, yang menurut ajaran mereka sebelumnya sejak masa kecil mereka adalah makanan haram, bukankah itu sama saja dengan memberikan mereka sajian yang menjijikan?

Bukannya malah membantu perkembangan iman orang tersebut, yang ada justru membuat orang itu mual dan muntah. Pada akhirnya, cara terbaik untuk memahami itu adalah dengan mengenal tradisi/budaya pada saat Kitab Suci itu ditulis dan bagaimana tradisi di wilayah perkembangan Kristen non Yahudi saat itu, karena sudut pandang pada saat itu tentu berbeda dengan saat ini meskipun persoalan yang muncul kurang lebih sama.

Apa yang dihadapi para Rasul tidaklah jauh berbeda dengan yang dihadapi para Pelayan Firman pada saat ini, yang membedakan hanyalah waktu dan tempat dimana tradisi itu terjadi. Dengan melihat apa yang diterima sebagai hal yang biasa oleh orang-orang lain akan menolong kita mengenali apa yang kita sendiri terima sebagai hal yang biasa. Tujuan utama kita tentunya adalah menjalani kehidupan sebagai umat Kristen dengan lebih baik Kita harus tetap waspada terhadap tradisi yang bisa saja bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani.

Berbicara mengenai aturan dan tradisi, rasul Paulus pernah menuliskan dalam Kolose 2:23,

"Peraturan semacam itu mungkin kelihatannya baik, karena memerlukan keteguhan, kemauan serta disiplin tubuh, tetapi sama sekali tidak dapat menaklukkan pikiran dan keinginan jahat dalam diri seseorang, melainkan hanya menimbulkan kesombongan." (FAYH)

Lantas apakah itu umat Kristiani boleh berbuat seenaknya, tidak boleh memiliki aturan dalam ibadah (read: Tata Ibadah/Liturgi), Tradisi Natal dan Paskah serta berbagai prosesi peribadatan lainnya termasuk juga soal makanan dan minuman?

Tidak demikian tentunya, yang dimaksud rasul Paulus adalah jangan sampai semua aturan dan tradisi itu membuat sebuah golongan merendahkan yang lain, menjadi sombong rohani.

Dengan demikian benarlah yang diajarkan rasul Paulus,

"Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.

 

Tuhan Yesus memberkati

 

Daftar pustaka:

Keliru Tafsir Dunia Barat Dalam Memahami Kitab Suci -- Menyingkap Selubung Kultural Yang Dapat Menyesatkan Dalam Memahami Alkitab.

Oleh:

E Randolph Richards dan Brandon J O'Brien 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar