05 Februari 2012

Etimologi Frasa 'Amin' Dan Perkembangannya

Dalam bahasa Inggris, kata 'amin' memiliki dua pengucapan utama, ah-men (/ɑːˈmɛn/) atau ay-men (/eɪˈmɛn/), dengan variasi tambahan kecil dalam setiap penekanan/pengucapan kalimat. Oxford English Dictionary menuliskan kata "eɪ'mεn, sering diucapkan ɑː'mɛn".

Pengucapan ah-men sering digunakan dalam pertunjukan musik klasik, di gereja-gereja dengan ritual-ritual dan liturgi yang lebih formal dan liberal didalam denominasi Protestan Arus Utama, serta hampir setiap jemaat Yahudi, sesuai dengan pengucapan bahasa Ibrani modern. Pengucapan ay-men, sebuah produk Great Vowel Shift yang berasal dari abad ke-15, terkait dengan Irlandia Protestan dan denominasi Injili konservatif umumnya, dan pengucapan yang biasanya digunakan dalam musik Gospel. Fowler, dalam Penggunaan Modern English Usage nya (2nd ed, sv 'amin'), Mengutip dari Esai dan Studi (1960), "Ay-men kemungkinan adalah sebuah penemuan komparasi dari Anglikan yang bertahan sekitar seratus tahun". Katolik Roma, secara keseluruhan mempertahankan kata "āmen" dalam bahasa Inggris.

** Etimologi **

Kata "amin" atau "amin" dalam bahasa inggris didefinisikan dalam Concise Oxford English Dictionary sebagai suatu interjeksi atau kata seru sekaligus kata benda yang bermakna 'so be it (maka jadilah/tetapkanlah)' dan diucapkan diakhir doa atau hymne. Asal mula kata "amin" ini sebenarnya berasal dari bahasa ibrani, kata ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Yunani dan oleh Jemaat / Gereja mula-mula yang masih bercorak Yudaisme.

Dari Yunani, "amin" memasuki bahasa-bahasa barat lainnya termasuk bahasa Inggris. Huruf akarnya, ''AMN'', mempunyai konotasi dalam bahasa Ibrani modern yang berarti "mendidik, melatih, benar, terpercaya, membenarkan, kepercayaan diri, kesetiaan, perjanjian." Akar kata ini terlihat sinonim dengan akar kata Arab yaitu "Alif-Mim-Nun" dimana huruf yang membentuk kata "amin" sendiri mengikuti tulisan dari bahasa Ibrani adalah "Aleph-mem-yod-nun."

Dengan mempelajari akar kata ini di dalam Lughat-ul-Quran (Leksicon Al-Qur'an) karya G. A. Parwez Edisi ke-4, 1998 mengkonfirmasikan bahwa tidak terdapat penyebutan secara eksplisit kata "amin" atau 'Aamiin' di dalam Al-Qur'an.

Kata Armenia ամեն / ɑːmɛn / yang berarti "setiap", namun itu juga digunakan dalam bentuk yang sama pada akhir doa, sama seperti dalam bahasa Inggris.

** 'Amin' dan 3 Agama **

Faktanya bahwa kata "amin" sering diucapkan di akhir doa atau hymne dari 3 (tiga) agama yang berbeda yaitu Kristen, Yahudi dan Islam bisa dikatakan bahwa kata ini merupakan divine word dari 3 (tiga) agama tersebut. Muslim menggunakan kata "amin" tidak hanya setelah membaca surat pertama dalam Al Qur'an yaitu surat Al Fatihah, tapi juga menggunakannya ketika selesai berdoa. Sedangkan dalam Kristen penggunaan amin diadopsi dalam ibadah Kristen sebagai kata penutup untuk doa dan hymne dan menyatakan perjanjian yang kuat. Tidak jauh berbeda dengan Islam dan Kristen, Hukum rabbi Yahudi juga mengharuskan seorang individu untuk mengatakan "amin" dalam berbagai konteks diantaranya pada titik-titik tertentu selama berdoa.

** 'Amin' dalam Yudaisme **

Meskipun "amin", dalam Yudaisme, umumnya dinyatakan sebagai respon terhadap berkat, itu juga sering digunakan sebagai penegasan deklarasi apapun. Hukum rabbi Yahudi mengharuskan seorang individu untuk mengatakan "amin" dalam berbagai konteks.

Liturgis, "amin" adalah tanggapan komunal yang akan dibacakan pada titik-titik tertentu selama pelayanan doa. Hal ini dibacakan secara komunal untuk menegaskan suatu berkat yang dibuat oleh pembaca doa. Hal ini juga diamanatkan sebagai respon selama Doksologi Kaddish. Jemaat kadang-kadang diminta untuk menjawab "amin" oleh istilah-ve'imru (Ibrani: ואמרו) = "dan [sekarang] mengatakan (gb.)," atau, ve-Nomar (ונאמר) = "dan mari kita katakan"

Penggunaan kontemporer mencerminkan praktek kuno, pada awal abad ke-4 SM, orang-orang Yahudi berkumpul di Bait Allah menjawab "amin" pada penutupan sebuah Doksologi atau doa lain yang diucapkan oleh seorang imam. Liturgi Yahudi tentang Doksologi kemudian diadopsi oleh orang-orang Kristen. Hukum Yahudi juga memerlukan individu untuk menjawab "amin" setiap kali mereka mendengar berkat dibacakan, bahkan dalam lingkungan non-Liturgis.

Talmud mengajarkan secara homiletika bahwa kata "amin" adalah singkatan dari אל מלך נאמן (El melekh ne Eman, "Tuhan, Raja dapat dipercaya"), frase ini dibacakan diam-diam oleh seorang individu sebelum membaca "Shema" tersebut.

**) PS: Homiletika adalah sebuah ilmu yang harus dimengerti oleh siapapun yang menyampaikan khotbah dari mimbar.

** Amin dalam agama Kristen **

Penggunaan "amin" umumnya telah diadopsi dalam ibadah Kristen sebagai kata penutup untuk doa dan himne dan mengekspresikan persetujuan yang kuat. Penggunaan Liturgis dari kata "amin" dalam zaman rasul-rasul dibuktikan oleh bagian dari 1 Korintus, dan Justin Martyr (c. 150) menyatakan bahwa Jemaat Kristen menanggapi dengan mengucapkan "amin" untuk menerima berkat setelah melakukan Perjamuan Ekaristi. Mengucapkan kata "amin" juga dikenalkan dalam Tradisi Baptisan yang dilakukan oleh gereja Ortodoks Yunani setelah menyebutkan setiap Nama dari Pribadi Tritunggal Maha Kudus. Di antara sekte Gnostik tertentu, "amin" menjadi nama malaikat.

Tuhan Yesus juga sering mengucapkan kata "amin" untuk menempatkan penekanan/penegasan pada pernyataan-Nya sendiri (diterjemahkan: "Sesungguhnya"). Dalam Injil Yohanes, "amin" terus diucapkan berulang kali, "Sesungguhnya, sesungguhnya." Amin juga digunakan dalam sumpah (Bilangan 5:22, Ulangan 27:15-26, Nehemia 5:13; 8:6; 1 Tawarikh 16:36). Kata "amin" lebih lanjut ditemukan pada akhir doa Jemaat mula-mula (1 Korintus 14:16).

** Amin dalam Islam **

Muslim menggunakan kata Amin (bahasa Arab: آمين) tidak hanya setelah membacakan surah pertama (Al Fatihah) dari Al Qur'an, tetapi juga ketika menyimpulkan sebuah doa, dengan arti yang sama seperti dalam Kristen. Islam menggunakan kata yang sama seperti yang diucapkan Yahudi.

Dalam bahasa Arab, "amin" berarti "jadilah demikian". Untuk Muslim, akhir yang wajar untuk setiap permohonan. Ada hadits yang menunjukkan bahwa Muhammad mendorong orang untuk mengatakan itu setelah permohonan. Tradisi lainnya mengatakan bahwa Muhammad memerintahkan umatnya untuk mengatakan "amin" saat imam selesai membaca surat Al-Fatihah.

Fakta bahwa 'Amin' datang dari sumber Yahudi masuk ke dalam ajaran Kristiani diakui oleh Catholic Encyclopedia Vol. 1 1907:

The word Amen is one of a small number of Hebrew words which have been imported unchanged into the liturgy of the Church ... 'So frequent was this Hebrew word in the mouth of Our Saviour', observes the catechism of the Council of Trent, "that it pleased the Holy Ghost to have it perpetuated in the Church of God.

Terjemahan:

Kata Amin adalah satu dari beberapa kosakata dari bahasa Ibrani yang diadopsi tanpa perubahan ke dalam Liturgi Gereja. 'Sangat sering kata Ibrani ini diucapkan oleh Juru Selamat Kami'. Konsili Trente menyatakan, Pengucapan ("amin") ini sangat berkenan bagi Roh Kudus sehingga kata itu ("amin") diabadikan di dalam Gereja Allah.

** Alkitab Ibrani **

Tiga penggunaan Alkitab yang berbeda dari amin dapat dicatat:

  1. Awal amin, merujuk kembali kata-kata dari pembicara lain dan memperkenalkan kalimat afirmatif, misalnya 1 Raja-Raja 1:36.
  2. Terpisah amin, sekali lagi mengacu pada kata-kata pembicara lain tetapi tanpa hukuman afirmatif komplementer, misalnya Nehemia 5:13.
  3. Amin akhir, dengan tidak ada perubahan pembicara, seperti dalam subsciption untuk tiga bagian pertama dari Mazmur.

** Perjanjian Baru **

Ada 52 (lima puluh dua) kata "amin" dituliskan/digunakan dalam Injil Sinoptik dan dalam Injil Yohanes ada 25 (dua puluh lima). Lima kata "amin" akhir (Matius 6:13, 28:20, Markus 16:20, Lukas 24:53 dan Yohanes 21:25) dalam setiap manuskrip mensimulasikan apa yang tercatat dari "amin" akhir dalam Mazmur Ibrani. Semua "amin" awal terjadi dalam ucapan-ucapan Yesus. Kata "amin" awal yang tak tertandingi dalam tulisan Ibrani, menurut Friedrich Delitzsch, karena mereka tidak mengacu pada kata-kata seorang pembicara sebelumnya melainkan memperkenalkan sebuah pemikiran baru.

Yesus menggunakan kata "Amin" (sesungguhnya) untuk menegaskan ucapan-ucapan-Nya sendiri, bukan dari orang lain, dan penggunaan ini diadopsi oleh Gereja. Penggunaan bentuk "amin", tunggal atau ganda di awal untuk memperkenalkan pernyataan khidmat dari Yesus dalam Injil ternyata tidak memiliki paralelisasi dalam praktek yang biasa dilakukan oleh Imam Besar bangsa Yahudi.

Dalam Alkitab, kata "amin" diteguhkan dalam berbagai konteks yang penting, diantaranya:

  1. Ucapan Kutuk dan Berkat dalam Ulangan 27.
  2. Amin ganda ("amin dan amin") terjadi dalam Mazmur 89 (Mazmur 41:13; 72:19; 89:52) yang digunakan untuk mengkonfirmasi kata-kata dan permohonan atas doa.
  3. Menutup doa dengan "amin" dalam Doa Bapa Kami (Matius 6:13)
  4. "Amin" terjadi dalam beberapa rumusan Doksologi Jemaat Kristen (Roma 1:25, 11:36 9:5, 15:33), dan Doksologi dalam Mazmur (41:14; 72:19; 89:53; 106:48) yang merupakan bentuk Liturgi dari Yudaisme.
  5. "Amin" sebagai affirmasi untuk menutup surat-surat Paulus.
  6. "Amin" sebagai affirmasi untuk menutup Perjanjian Baru (Wahyu 22:21)

** "Amin" dan Al-Qur'an. **

Kata ini bisa diperkirakan masuk ke dalam ajaran tradisional Islam yang diadopsi dari sumber-sumber ajaran Kristen atau Yahudi hampir 200-300 tahun setelah kematian Muhammad ketika buku-buku Hadits mulai tercipta.

Merupakan suatu fakta yang diketahui, atau hampir diketahui oleh semua orang bahwa kata ini sama sekali tidak terdapat di dalam Al-Qur'an. Lalu mengapa kaum Muslim tradisional begitu menganggap suatu kata yang bahkan tidak bisa ditemukan dalam kitab terakhir sebagai kata yang begitu penting?

Ya, tebakan anda benar, bahwa kata ini bisa ditemukan di dalam Hadits, sumber kedua mengenai (dis)informasi urusan agama bagi kaum Muslim tradisional setelah Al-Qur'an. Dalam Shahih Bukhari Volume 6, Buku 2, terjemahan Inggris oleh Dr. M. Muhsin Khan, kita menemukan lagi suatu permata dari buah tulisan Abu Huraira. (Bila anda mengunjungi http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/hadithsunnah/bukhari/, maka hadits tersebut terletak dalam Volume 1, Buku 12, Hadits nomor 749)

Narrated Abu Huraira:Allah's Apostle said, "When the Imam says: 'Ghair-il-Maghdubi 'Alaihim Walad-Dallin [i.e. not the path of those who earn Your anger, not the path of those who went astray' (1:7)], then you must say, 'Amin', for if one's utterance of 'Amin' coincides with that of the angels then his past sins will be forgiven."

Terjemahan:

Narasi oleh Abu Huraira: Nabi Allah bersabda, "Ketika sang Imam mengucapkan: 'Ghairil-maghdhuubi 'alaihim waladh-dhaalliin [bukan jalan yang Engkau murkai, dan bukan jalan mereka yang sesat (1:7)], maka kamu harus mengatakan, 'Amin,' karena jika ucapan 'Amin' seseorang bertepatan dengan ucapan para malaikat, maka seluruh dosa-dosanya pada masa lampau akan dimaafkan."

** "Amin" dan Paganisme. **

Dalam Columbia Encyclopedia, 6th Edition 2001 tertulis bahwa kata "amin" memiliki konotasi dengan salah satu sesembahan dari kaum Pagan.

Amon or Amen, Egyptian deity. He was originally the chief god of Thebes; he and his wife Mut and their son Khensu were the divine Theban triad of deities. Amon grew increasingly important in Egypt, and eventually he (identified as Amon Ra; see Ra) became the supreme deity. He was identified with the Greek Zeus (the Roman Jupiter). Amon's most celebrated shrine was at Siwa in the Libyan desert; the oracle of Siwa later rivaled those of Delphi and Dodona. He is frequently represented as a ram or as a human with a ram's head.

Terjemahan:

Amon atau Amen (Amin), berhala Mesir. Dia sebenarnya merupakan dewa tertinggi Thebes; dia dan istrinya Mut dan anaknya Khensu merupakan dewa-dewi Thebes. Amon selanjutnya menjadi dewa utama bangsa Mesir Kuno, dan pada akhirnya dia (dikenal sebagai Amon Ra) yang adalah dewa tertinggi. Dia diidentikan dengan dewa Zeus - Yunani Kuno (Dewa Jupiter bangsa Romawi Kuno). Kuil Amon yang paling tersohor terletak di Siwa di gurun pasir Libya; dewa Amon seringkali direpresentasikan sebagai kambing atau manusia berkepala kambing.

Di tulisan lain yaitu The Egypt Travel and Antiquities Guide dalam artikel mereka mengenai "amin" mendeskripsikan maknanya sebagai berikut:

"Of the attributes ascribed to Amen in the Ancient Empire nothing is known, but, if we accept the meaning "hidden" which is usually given to his name, we must conclude that he was the personification of the hidden and unknown creative power which was associated with the primeval abyss, gods in the creation of the world, and all that is in it. The word or root amen, certainly means "what is hidden," "what is not seen," "what cannot be seen," and the like, and this fact is proved by scores of examples which may be collected from texts of all periods.

In hymns to Amen we often read that he is "hidden to his children, "and "hidden to gods and men," and it has been stated that these expressions only refer to the "hiding," i.e., "setting" of the sun each evening, and that they are only to be understood in a physical sense, and to mean nothing more than the disappearance of the god Amen from the sight of men at the close of day.

Now, not only is the god himself said to be "hidden," but his name also is "hidden," and his form, or similitude, is said to be "unknown;" these statements show that "hidden," when applied to Amen, the great god, has reference to something more than the "sun which has disappeared below the horizon," and that it indicates the god who cannot be seen with the mortal eyes, and who is invisible, as well as inscrutable, to gods as well as men."

Terjemahan:

"Dari semua atribut yang diberikan kepada Amen (Amon) dalam Kekaisaran Kuno tidak diketahui, namun, jika kita menerima arti tersembunyi yang biasanya diberikan kepada namanya, kita harus menyimpulkan bahwa dia adalah personifikasi dari suatu kekuatan pencipta yang tersembunyi dan tidak diketahui yang diasosiasikan dengan masa awal yang penuh kegelapan (primeval abyss), dewa-dewa dalam penciptaan dunia, dan segala yang ada di dalamnya. Kata atau akar kata "amin" sudah pasti bermakna 'yang tersembunyi,' 'yang tidak terlihat,' 'yang tidak bisa dilihat,' dan semacamnya, dan fakta ini dibuktikan oleh banyak contoh yang dapat dikumpulkan dari teks bermacam-macam periode.

Dalam hymne kepada Amen (Amon) kita sering membaca bahwa dia 'tersembunyi terhadap anak-anaknya,' dan 'tersembunyi terhadap para dewa dan manusia,' dan telah dinyatakan bahwa ungkapan-ungkapan semacam ini hanya mengacu kepada 'bersembunyi' yakni 'terbenamnya' matahari setiap malam, dan ungkapan-ungkapan tersebut harus dimengerti secara fisik, dan tidak memiliki arti lebih selain menghilangnya dewa Amen (Amon) dari penglihatan manusia setiap suatu hari berakhir.

Nah, tidak hanya dewa-nya sendiri yang dikatakan sebagai 'yang tesembunyi,' namun namanya pun 'tersembunyi,' dan bentuknya atau perumpamaannya, dikatakan sebagai sesuatu 'yang tidak diketahui'; pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa 'yang tersembunyi,' ketika diaplikasikan kepada Amen (Amon), sang dewa utama, memiliki referensi kepada sesuatu yang lebih dari 'matahari yang menghilang di bawah horizon,' dan bahwa ia diindikasikan sebagai seorang dewa yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia, dia yang tidak terlihat, sekaligus tidak dapat diteliti, baik terhadap dewa-dewa maupun manusia."

Dari sumber paganime diatas, ada asumsi bahwa "dewa yang tersembunyi" ini tidak lain adalah Iblis yang telah berhasil untuk menipu tidak hanya umat Kristen, namun juga kaum Yahudi dan Islam sampai hari ini.

Fakta bahwa penyembahan "Amen" dan "Amen-Ra" telah menjadi popular tidak hanya di kalangan bangsa Mesir Kuno namun orang asing yang tinggal di daerahnya atau pada masa tersebut.

Pemujaan Amen-Ra menyebar ke segala penjuru negeri baik utara maupun selatan Thebes, dan monument-monumen membuktikan bahwa hal tersebut berhasil masuk ke dalam seluruh wilayah kekuasaan Mesir di Syria, dan Nubia, dan di Oasis. Di bagian Mesir Atas pusatnya terletak di Thebes, Herakeopolis Magna; di Mesir Kuno pusatnya terletak di Memphis, Sais, Xois, Metelis, Heliopolis, Babylon, Mendes, Thmuis, Diospolis, Butus, dan Kepulauan Khemmis; di gurun pasir Libya ada di Oasis Kenemet, (yakni Farafra), dan Oasis Yupiter Ammon; di Nubia, terletak pada Wadi Sabua, Abu Simbel, Napata, dan Meroe; dan di Syria terletak di beberapa tempat yang pada saat itu dikenal sebagai Diospolis.

Amen (Amon), lalu istrinya, Mut beserta si anak Khensu adalah representasi dari Triad Thebe, keluarga suci dari kaum Thebes. Amen (Amon) dikenal sebgai "Raja para dewa" pada masa Kekaisaran Baru di Mesir Kuno pada 1550-1070 SM ketika Thebes menjadi ibukota Mesir, dan pada periode inilah kaum Yahudi berada di sana sebagai budak.

Selama 400 tahun perbudakan, nampak jelas bahwa kaum Yahudi kehilangan keyakinan monotheisme mereka dan jatuh ke dalam paganisme Mesir. Jika dalam rentang waktu 40 tahun selama eksodus mereka dapat menciptakan berhala lembu emas yang konon bisa berbicara, apakah terlalu mengada-ada untuk mengasumsikan bahwa kata 'Amin' menyusup ke dalam ritual keagamaan mereka – kata yang dinamai setelah dewa Mesir – yang tidak hanya kaum Yahudi gagal untuk menghilangkannya namun juga diwariskan kepada kaum Kristiani dan Muslim?

Bagi para skeptis, yang mungkin berargumentasi terhadap hubungan antara dewa Mesir "Amen" terhadap kata dalam penggunaannya zaman modern ini, saya akan mengutip bagian akhir dari paragraf di bawah judul "Amen" dari Catholic Encyclopedia, Vol 1 1907, yang entah secara sengaja atau tidak mengakui koneksi tersebut:

"Finally, we may note that the word Amen occurs not infrequently in early Christian inscriptions, and that it was often introduced into anathemas and gnostic spells. Moreover, as the Greek letters which form Amen according to their numerical values total 99 (alpha=1, mu=40, epsilon=8, nu=50), this number often appears in inscriptions, especially of Egyptian origin, and a sort of magical efficacy seems to have been attributed to this symbol. It should be mentioned that the word Amen is still employed in the ritual both of Jews and Mohammedans."

Terjemahan:

"Pada akhirnya, kita dapat mencatat bahwa kata Amen/Amin tidak jarang muncul dalam inskripsi-inskripsi (tulisan-tulisan) kaum Kristiani awal, dan kata tersebut sering diperkenalkan ke dalam mantra-mantra anathema (sesuatu yang terkutuk atau terusir) dan gnostis. Lebih lanjut, berdasarkan huruf-huruf Yunani yang membentuk kata Amen/Amin menurut nilai numericnya berjumlah 99 (alpha=1; mu=40; epsilon=8; nu=50), angka ini seringkali muncul dalam inskripsi-inskripsi, terutama yang berasal dari Mesir, dan suatu macam efek magis seperti diatributkan kepada simbol tersebut. Perlu juga dicatat bahwa kata Amen/Amin masih digunakan dalam ritual kaum Yahudi dan Muhammad (Muslim)."

Pertanyaan bagi kita adalah, apakah dengan adanya keterkaitan secara historis antara kata "amin" yang berasal dari paganisme Mesir lantas membuat kita tidak lagi mengucapkan kata "amin" ketika mengakhiri pembicaraan kita dengan Allah?

Populer di kalangan Teosofi, para pendukung teori Afrocentric sejarah, dan penganut esoteris Kristen adalah dugaan bahwa "amin" merupakan turunan dari nama (dewa Mesir) Amun (yang kadang-kadang juga dieja Amin). Beberapa penganut agama-agama Timur percaya bahwa "amin" memiliki akar yang sama dengan kata Sansekerta Hindu, "Aum". Tidak ada dukungan akademis untuk salah satu dari pandangan-pandangan ini. Kata Ibrani, seperti disebutkan di atas, dimulai dengan "Aleph", sedangkan nama Mesir dimulai dengan sebuah "Yodh".

Agama-agama Abrahamaic turun dalam rumpun budaya yang sama, tidak heran kalau ada kata-kata yang sama yang digunakan oleh beberapa culture/subculture berbeda. Kata-kata dalam bahasa Jawa juga banyak yang mirip dengan kata-kata dalam bahasa Sansekerta, dan bahasa-bahasa rumpun indogerman.

Sebelum manusia mengenal bahasa verbal, mereka berkomunikasi dengan telepati (jadi, sebenarnya ketrampilan-ketrampilan gaib itu memiliki sejarah yang sangat purba), sehingga demikian juga mereka dapat berkomunikasi langsung dengan pohon, gunung, alam. sisa-sisa pengetahuan inilah yang dibangkitkan ketika seseorang melatih kemampuan-kemampuan dasar primordial (kuno) itu.

Kata-kata/bahasa verbal muncul sebagai adaptasi dari ekspresi-ekspresi alam, misalnya berawal dengan menirukan bunyi-bunyi alam, lalu muncul kata-kata interjeksional (kata-kata seru yang tidak ada artinya), lalu mulai muncul nama-nama dan seterusnya sehingga menjadi sistem penandaan yang kompleks.
Jadi, kemiripan, atau kesamaan kata bahkan dalam bahasa-bahasa yang jauh keterpisahan geografisnya itu sangat mungkin dan banyak terjadi. Sebuah tindakan yang tidak bijaksana dilakukan adalah jika suatu culture mengklaim budayanya (termasuk bahasa) secara ekslusif, lebih-lebih mengidentifikasikannya dengan ras, agama, atau kelompok tertentu dan karena manusia itu makhluk yang gemar berperang, tak akan kurang akal untuk mencari bahan bakar konflik antar sesamanya.

Agama-agama Abrahamaic "yang turun dari atas genteng" kepada bangsa Yahudi/Yudaisme (dan Kristen) serta Arab (Islam) sudah tentu mempunyai akar bahasa yang sama sehingga sebenarnya tidak banyak berbeda dalam bentuk bahasa ibadahnya karena masih berada dalam lingkup THESE-ANTITHESE- dan SYNTHESE.

Keberhasilan mereka adalah bisa mempengaruhi separuh dari manusia di dunia dengan berbagai macam cara yang menakjubkan.

4 komentar: