05 Juni 2011

Ketuhanan Yesus Dalam Terminology Kristen Arab

Makna Terminology Putra Allah (Belajar dari "bahasa teologis" Kristen Arab)

Oleh: Bambang Noorsena, SH

Kalau begitu, apakah makna sebenarnya istilah Putra Allah dalam Iman Kristen?

Harus ditegaskan, bahwa tidak ada umat Kristen yang pernah mempunyai sebersit pemikiran pun bahwa Allah secara fisik mempunyai anak, seperti keyakinan primitif orang-orang Mekkah pra-Islam tersebut. Saya ingin menjelaskan metafora ini berdasarkan teks-teks sumber Kristen Arab, supaya terbangun kesalingpahaman teologis Kristen-Islam di Indonesia. Sebab selama ini ada jarak yang cukup lebar secara kultural antara "bahasa teologis" Kristen Barat, yang memang tidak pernah bersentuhan dengan Islam, sehingga kesalahpahaman semakin berlarut-larut.

Istilah Putra Allah yang diterapkan bagi Yesus dalam Iman Kristen untuk menekankan pra eksistensi-Nya sebagai Firman Allah yang kekal, seperti disebutkan dalam Injil Yohanes 1:1-3. Ungkapan "Pada mulanya adalah Firman", untuk menekankan bahwa Firman Allah itu tidak berpermulaan, sama abadi dengan Allah karena Firman itu adalah Firman Allah sendiri.

Selanjutnya, "Firman itu bersama-sama Allah", menekankan bahwa Firman itu berbeda dengan Allah. Allah adalah Esensi Ilahi (Arab: al-dzat, the essence), yang dikiaskan Sang Bapa, dan Firman menunjuk kepada "Pikiran Allah dan Sabda-Nya. Akal Ilahi sekaligus Sabda-Nya" (‘aqlullah al-naatiqi, au natiqullah al- ‘aaqli, faahiya ta’na al- ‘aqlu wa al-naatiqu ma’an), demikianlah term-term Teologis yang sering dijumpai dalam teks-teks Kristen Arab. Sedangkan penegasan "Firman itu adalah Allah", menekankan bahwa Firman itu, sekalipun dibedakan dari Allah, tetapi tidak berdiri di luar Dzat Allah.

Mengapa?

"Tentu saja", tulis Baba Shenuda III dalam bukunya Lahut al-Masih (Keilahian Kristus), "Pikiran Allah tidak akan dapat dipisahkan dari Allah (‘an ‘aqlu llahi laa yunfashilu ‘an Allah)". Dengan penegasan bahwa Firman itu adalah Allah sendiri, makan keesaan Allah (tauhid) dipertahankan.
Ungkapan "Firman itu bersama-sama dengan Allah", tetapi sekaligus "Firman itu adalah Allah", bisa dibandingkan dengan kerumitan pergulatan pemikiran Ilmu Kalam dalam Islam, yang merumuskan hubungan antara Allah dan sifat-sifat-Nya: "Ash Shifat laysat al-dzat wa laa hiya ghayruha" (Sifat Allah tidak sama, tetapi juga tidak berbeda dengan Dzat Allah). Jadi, kata sifat dalam Ilmu Kalam Islam tidak hanya bermakna sifat dalam bahasa sehari-hari, melainkan mendekati makna "hypostasis" dalam bahasa teologis Kristen.

Dalam sumber-sumber Kristen Arab sebelum munculkan ilmu Kalam "al-Asy’ari", "hyposistasis" sering diterjemahkan baik "shifat" maupun "uqnum", "pribadi" (jamak: aqanim), asal saja dimaknai secara metafisik seperti maksud bapa-bapa gereja, bukan dalam makna psikologis. Sedangkan "ousia" diterjemahkan "dzat", dan kadang-kadang jauhar. Istilah "dzat" dan "shifat" tersebut akhirnya dipentaskan kembali oleh kaum Sunni dalam menghadapi kaum Mu’tazili yang menyangkal keabadian Kalam Allah (Al-Qur’an), sebagaimana gereja menghadapi bidat Arius yang menyangkal keabadian Yesus sebagai Firman Allah.

Kembali ke makna Putra Allah. Melalui Putra-Nya atau Firman-Nya itu Allah menciptakan segala sesuatu. "Segala sesuatu diciptakan oleh Dia, dan tanpa Dia tidak sesuatupun yang jadi dari segala yang dijadikan" (Yohanes 1:3). Jelaslah bahwa mempertahankan keilahian Yesus dalam Iman Kristen, tidak berarti mempertuhankan kemanusiaan-Nya, apalagi dengan rumusan yang jelas-jelas keliru: "Sesungguhnya Allah adalah al-Masih Putra Maryam" (innallaha huwa al-masih ibn maryam).

Dalam rumusan ini, yang ditentang al-Qur’an adalah menyamakan kemanusiaan Yesus dengan Allah. Padahal yang kita dimaksudkan ketika mempertahankan keilahian Yesus, menunjuk kepada Firman yang kekal bersama-sama Allah, yang melalui-Nya alam semesta dan segala isinya ini telah diciptakan.

Dan karena sejak kekal Kristus adalah Akal Allah dan Sabda-Nya, maka jelaslah Firman itu adalah Allah. Karena Akal Allah berdiam dalam Allah sejak kekal (wa madaama al-Masih huwa ‘aql allah al-naatiqi, idzan faahuwa llah, lianna ‘aql allah ka’inu fii llahi mundzu azali). Dan karena itu pula, Firman itu bukan ciptaan (ghayr al-makhluq), karena setiap ciptaan pernah tidak ada sebelum diciptakan).

Secara logis, mustahillah kita membayangkan pernah ada waktu dimana Allah ada tanpa Firman-Nya, kemudian Allah menciptakan Firman itu untuk Diri-Nya sendiri.

Bagaimana mungkin Allah ada tanpa Pikiran atau Firman-Nya?

Kini kita memahami secara jelas ajaran Tritunggal Yang Mahaesa, bahwa Allah, Firman dan Roh-Nya adalah kekal, sedangkan Firman dan Roh Allah selalu berdiam dalam keesaan Dzat-Nya, berada sejak kekal dalam Allah.

Selanjutnya, istilah Putra Allah berarti "Allah mewahyukan Diri-Nya sendiri melalui Firman-Nya". Allah itu transenden, tidak tampak, tidak terikat ruang dan waktu. "Tidak seorangpun melihat Allah", tulis Rasul Yohanes dalam Yohanes 1:18, "tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa Dialah yang menyatakan-Nya". Inilah makna tajjasad (inkarnasi). "Dengan inkarnasi Firman-Nya", tulis Baba Shenouda III, "kita melihat Allah. Tidak seorang pun melihat Allah dalam wujud ilahi-Nya yang kekal, tetapi dengan nuzulnya Firman Allah, kita melihat pewahyuan diri-Nya dalam daging" (Allahu lam yarahu ahadun qathu fi lahutihi, wa lakinahu lamma tajjasad, lamma thahara bi al-jasad).

Melalui Firman-Nya Allah dikenal, ibarat seseorang mengenal diri kita setelah kita menyatakan diri dengan kata-kata kita sendiri. Jadi, sebagaimana kata-kata seseorang yang keluar dari pikiran seseorang mengungkapkan identitas diri, begitu Allah menyatakan Diri-Nya melalui Firman-Nya. Inilah maka ungkapan dalam "Qanun al-Iman" (Syahadat Nikea / Konstantinopel tahun 325 / 381), yang mengatakan bahwa Putra Allah yang Tunggal telah "lahir dari Sang Bapa sebelum segala zaman" (Arab: al-maulud min al-Abi qabla kulli duhur).

Adakah di dunia ini seseorang yang dilahirkan dari Bapa?

Jawabnya, tentu saja tidak ada. Setiap orang lahir dari ibu. Karena itu, Yesus disebut Putra Allah jelas bukan kelahiran fisik, tetapi kelahiran ilahi-Nya sebagai Firman yang kekal sebelum segala zaman.

Tetapi bukankah secara manusia Yesus dilahirkan oleh Maria?

Betul, itulah makna kelahiran-Nya yang kedua dalam daging.

Mengenai misteri ini, bapa-bapa gereja merumuskan makna kelahiran (wiladah) Kristus itu, seperti dirumuskan dalam ungkapan yang indah:

As-Sayid al-Masih lahu miladain: Miladi azali min Ab bi ghayr umm qabla kulli ad-duhur, wa miladi akhara fi mal’i al-zamaan min umm bi ghayr ab.

Artinya:

Junjungan kita al-Masih mempunyai dua kelahiran: Kelahiran kekal-Nya dari Bapa tanpa seorang ibu, dan kelahiran-Nya dalam keterbatasan zaman dari ibu tanpa seorang bapa insani.

Lahir dari Bapa tanpa seorang ibu, menunjuk kepada kelahiran kekal Firman Allah dari Wujud Allah. Tanpa seorang ibu, untuk menekankan bahwa kelahiran itu tidak terjadi dalam ruang dan waktu yang terbatas, bukan kelahiran jasad (bi ghayr jasadin) melalui seorang ibu, karena memang "Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan."

Jadi, dalam hal ini Iman Kristen bisa sepenuhnya menerima dalil al-Qur’an: "Lam Yalid wa Lam Yulad", karena memang tidak bertabrakan dengan makna Teologis gelar Yesus sebagai Putra Allah.

Sebaliknya, "Lahir dari ibu tanpa bapa", menekankan bahwa secara manusia Yesus dilahirkan dalam ruang dan waktu yang terbatas. Meskipun demikian, karena Yesus bukan manusia biasa seperti kita, melainkan Firman yang menjadi manusia, maka kelahiran fisik-Nya ditandai dengan mukjizat tanpa perantaraan seorang ayah insani. Kelahiran-Nya yang kedua ke dunia karena kuasa Roh Allah ini, menyaksikan dan meneguhkan kelahiran kekal-Nya "sebelum segala abad". Dan karena Dia dikandung oleh kuasa Roh Kudus, maka Yesus dilahirkan oleh Sayidatina Maryam al-Adzra’ (perawan Maria) tanpa seorang ayah.

Dari deskripsi di atas, jelaslah bahwa ajaran Tritunggal sama sekali tidak berbicara tentang ilah-ilah selain Allah. Ajaran rasuli ini justru mengungkapkan misteri keesaan Allah berkat pewahyuan diri-Nya dalam Kristus, Penyelamat Dunia. Dalam Allah (Sang Bapa), selalu berdiam secara kekal Firman-Nya (Sang Putra) dan Roh Kudus-Nya. Kalau Putra Allah berarti Pikiran Allah dan Sabda-Nya, maka Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri, yaitu hidup Allah yang abadi. Bukan Malaikat Jibril seperti yang sering dituduhkan beberapa orang Muslim selama ini. Firman Allah dan Roh Allah tersebut bukan berdiri di luar Allah, melainkan berada dalam Allah dari kekal sampai kekal.

Jadi, jelaslah bahwa Iman Kristen tidak menganut ajaran sesat yang diserang oleh al-Qur’an, bahwa Allah itu beranak dan diperanakkan. Untuk memahami Iman Kristen mengenai Firman Allah yang nuzul (turun) menjadi manusia ini, umat Islam hendaknya membandingkan dengan turunnya al-Qur’an alam Allah (nuzul al-Qur’an). Kaum Muslim Suni (Ahl l-Sunnah wa al-Jama’ah) juga meyakini keabadian al-Qur’an sebagai "kalam nafsi" (Sabda Allah yang kekal) yang berdiri pada Dzat-Nya, tetapi serentak juga terikat oleh ruang dan waktu, yaitu sebagai "kalam lafdzi" (Sabda Tuhan yang temporal) dalam bentuk mushaf al-Qur’an dalam bahasa Arab yang serba terbatas tersebut.

Dan seperti fisik kemanusiaan Yesus yang terikat ruang dan waktu, yang "dibunuh dalam keadaannya sebagai manusia" (1 Petrus 3:18), begitu juga mushaf al-Qur’an bisa rusak dan hancur. Tetapi Kalam Allah tidak bisa rusak bersama rusaknya kertas al-Qur’an. Demikianlah Iman Kristen memahami kematian Yesus, kematian-Nya tidak berarti kematian Allah, karena Allah tidak bisa mati. Saya kemukakan data-data paralelisasi ini bukan untuk mencocok-cocokkan dengan Ilmu Kalam Islam.

Mengapa?
Sebab justru seperti sudah saya tulis di atas, pergulatan Islam mengenai Ilmu Kalam dirumuskan setelah teolog-teolog Kristen Arab, menerjemahkan istilah-istilah teologis dari bahasa Yunani dan Aram ke dalam bahasa Arab.

Akhirul kalam, semoga tulisan ini semakin merangsang pembaca untuk menggumuli teologi kontekstual yang mendesak dibutuhkan Gereja-Gereja di Indonesia, khususnya dalam merentas jalan menuju dialog Teologis dengan Islam.

Bukankah dialog Teologis Kristen-Islam selama ini sering mengalami kebuntuan, karena "kesenjangan bahasa Teologis" antara keduanya, akibat tajamnya pengkutuban Barat-Timur selama ini?

Marilah kita realisasikan pesan rasuli, supaya kita siap sedia segala waktu " ... untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu…." (1 Petrus 3:15).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar